Lifestyle
Minggu, 16 Juli 2023 - 11:13 WIB

Subothel dan Cerita-cerita yang Tidak Bahagia

Mashdar Zainal  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Subothel (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Marwan Zarkoni bisa terbangun dari tidurnya hanya karena mendengar siutan angin. Maka ketika telepon di ruang depan berdering tengah malam, serta-merta ia berdiri dari rebahnya. Dapat dipastikan ia membuka mata tepat pada deringan pertama.

Dia lantas langsung bangkit seperti sebuah paku yang ditarik magnet. Tak ada posisi setengah sadar bagi Marwan Zarkoni. Begitu sesuatu membangunkannya, matanya langsung membelalak. Dan seketika itu pula otaknya menyambar-nyambar, merespons sesuatu di luar dirinya yang dengan gegabah melibatkan dirinya.

Advertisement

Marwan Zarkoni menyalakan saklar di sebelah pintu. Seketika kamarnya yang remang menjadi benderang. Telepon itu bagai berdering tanpa jeda.

“Aku sudah dengar! Tunggu sebentar! Kakiku sedang bekerja,” teriak Marwan Zarkoni dengan malas, hampir mengumpat, seakan telepon itu akan langsung berhenti berdering begitu mendengar omelannya.

Sebelum sepasang kaki Marwan Zarkoni berhenti tepat di sebelah meja telepon, tangannya sudah menyambar gagang telepon itu terlebih dulu, “Halo? Siapa? Haloooo?”

Tak ada jawaban. Hanya ada suara gemuruh di seberang. Seperti suara gelombang radio yang tertatih-tatih menemukan frekuensi yang benar. Marwan Zarkoni menjauhkan gagang telepon dari mulut dan telinganya lalu memandangi lubang-lubang kecil di sana sebelum mengembalikannya: menempelkannya ke mulut dan telinga.

“Halo, siapa di sana?” telisik Marwan Zarkoni lagi.

Suara di seberang berdeham dan dehaman itu tiba-tiba membuat Marwan Zarkoni waswas.

“Selamat malam, Tuan. Aku Subothel, tentu kau ingat?”

Advertisement

Marwan Zarkoni tak pernah mendengar suara lelaki seberat itu dan nama seaneh itu,

“Subothel?” Otak Marwan Zarkoni bekerja cepat, mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah mengenal seseorang dengan nama Subothel. Namun, hasil pekerjaan otaknya mengatakan: “Subothel siapa?”

Marwan Zarkoni tak pernah mengenal seseorang bernama Subothel, tapi jujur, nama itu sangat familiar baginya, sefamiliar namanya sendiri. Sebab itulah Marwan Zarkoni mengernyit kebingungan.

“Kau mengenalku, Tuan, kau sangat mengenalku,” suara berat di seberang kembali merayap ke telinga Marwan Zarkoni.

“Subothel?” Marwan Zarkoni menggumam lirih. Dan otaknya terus-menerus mengeja nama itu: Subothel… Subothel… Subothel…

Marwan Zarkoni tercekat ketika tiba-tiba benaknya membayangkan sesosok manusia bertubuh pendek dan tambun dengan leher sedikit panjang dan kepala mungil. Persis sebuah botol. Marwan Zarkoni dapat mengingat dengan baik, ia memberi nama lelaki itu ‘Subothel’ karena ia memang mirip sebuah botol.

Manusia botol. Dan Marwan Zarkoni tahu pasti lelaki itu tak pernah hidup bahagia. Hidup dan sosoknya hanya sebuah lelucon, bahan tertawaan orang. Demi menyadarinya, tangan Marwan Zarkoni yang menggenggam gagang telepon menjadi gemetar. Sebelum Marwan Zarkoni mengatakan sesuatu, lelaki di seberang sudah menyambar.

Advertisement

“Ya, Tuan, betul sekali, akulah orang yang selalu kau tertawakan itu, sebelum akhirnya kau habisi dengan kekejian yang tak tanggung-tanggung.”

“Siapa kau, jangan coba mengerjaiku!” Marwan Zarkoni mencoba tenang, tapi suaranya terlanjur goyah.

Marwan Zarkoni yakin pasti orang yang mengaku sebagai Subothel ini adalah salah satu kawan dekatnya atau barangkali pembaca fanatik cerita-ceritanya yang entah dapat nomor telepon dari mana dan kemudian mengusilinya.

“Aku Subothel dan aku bukan kawan dekat atau pembaca cerita-cerita sampahmu itu. Aku hanya Subothel dan bukan selain Subothel.” Tampaknya manusia di seberang ini tahu betul isi pikiran Marwan Zarkoni, bahkan sebelum pikiran itu menyeruduk keluar dari mulutnya.

“Siapa pun dirimu,” kata Marwan Zarkoni akhirnya, “Aku tak punya banyak waktu untuk melayani ocehanmu. Aku harus beristirahat cukup malam ini karena esok hari aku harus menghadiri acara peluncuran buku terbaruku. Dan yang pasti aku akan menandatangani ratusan buku. Itu akan sangat melelahkan.”

“Hei, Tuan, apa itu tampak seperti urusanku?” Suara itu memang persis suara Subothel yang selama ini dibayangkan Marwan Zarkoni. Lekuknya dan beratnya persis seperti itu.

Marwan Zarkoni menghela napas, memandangi lubang-lubang kecil di gagang telepon seolah-olah seseorang akan muncul dari sana, sebelum akhirnya menutup telepon itu dengan napas kejar-mengejar. Tengkuk Marwan Zarkoni menggigil. Marwan Zarkoni menghibur diri, itu mungkin karena malam yang kelewat dingin.

Advertisement

Ketika Marwan Zarkoni beranjak meninggalkan meja telepon itu, telepon kembali berdering. Marwan Zarkoni memutar haluan, dua giginya beradu, dengan kasar ia menarik kabel telepon itu. “Orang kurang kerjaan akan selalu kurang kerjaan. Dan aku tahu, mereka tak pernah menyerah,” umpat Marwan Zarkoni.

Marwan Zarkoni kembali berbaring di ranjangnya, lampu kamar ia biarkan menyala. Sosok lelaki tambun bertubuh pendek dan berleher panjang dan berkepala mungil itu tiba-tiba memenuhi otaknya. Ia membayangkan lelaki itu berjalan tersorok-sorok menghindari orang-orang yang menertawakannya.

Wajahnya yang jenaka menyimpan gumpalan dendam, itu terlihat jelas dari sepasang mata mungilnya yang dalam dan bulat, yang lebih mirip sepasang mata laba-laba ketimbang sepasang mata manusia. Dalam cerita karangan Marwan Zarkoni, Subothel memang tak pernah bahagia.

Marwan Zarkoni memang menciptakannya bukan untuk kisah bahagia. Terkadang Marwan Zarkoni sendiri merasa sangat bersalah saat menciptakan tokoh-tokoh seperti itu dalam cerita-ceritanya. Bukankah siapa pun, seharusnya berhak bahagia, bahkan meski itu cuma tokoh rekaan, termasuk Subothel.

Marwan Zarkoni menyambar sebuah buku yang tergeletak di meja di sebelah rajangnya. Buku yang akan ia luncurkan esok hari. Buku itu bertajuk Subothel dan Cerita-Cerita yang Tak Bahagia. Salah satu cerita dalam buku itu berkisah tentang seorang perjaka tua bernama Subothel.

Subothel yatim, miskin, tidak pandai, selalu patah hati, dan yang paling menggelikan: sosoknya mirip sebuah botol. Seolah-olah ia hidup hanya untuk menjadi bahan ejekan. Setiap kali Subothel melintasi sebuah jalan, akan selalu ada orang-orang, termasuk anak-anak kecil, yang menyeru, “Ada botol berjalan, ada botol berjalan…” atau, “Apakah kau berjalan menggunakan sepasang kaki?” atau, “Hei, bolehkan aku mengisimu dengan air kencingku… Hahaha, ” dan seterusnya, dan semacamnya…

Di akhir cerita itu, Subothel yang cebol itu tak kuasa menahan dirinya ketika beberapa bocah melemparinya dengan kerikil sambil mengolok, “Apa kau akan berbunyi ‘ting’ saat kami melemparimu dengan kerikil? Oh ya, apa ibumu juga seperti botol? Apa kau lahir dengan cara dimuntahkan dari mulut ibumu? Hahaha…”

Advertisement

Mendengar nama ibunya disebut-sebut, Subothel balik mengambil sejumlah batu sebesar kepalan tangan dan melempari bocah-bocah itu secara membabi buta. Bocah-bocah itu berteriak dan lari kalang kabut. Namun, beberapa dari mereka bernasib sial.

Mereka tersungkur dan terluka parah. Orang tua bocah-bocah itu tak terima dan menghajar Subothel beramai-ramai. Dengan kayu, dengan batu, dengan apa saja yang bisa mereka pakai untuk memecahkan sebuah botol. Riwayat Subothel pun berakhir. Begitulah ceritanya. Cerita yang sebenarnya kelewat sederhana, miskin plot, dan tak terlalu menarik.

Baca Juga: Perayaan Kematian

Seusai membaca ulang cerita itu untuk kesekian kalinya, Marwan Zarkoni merasa bahwa cerita itu memang agak sampah. Bukan agak lagi, tapi memang sangat sampah. Hingga ia berpikir bahwa cerita dalam iklan sampo yang pernah ia tonton lebih berpotensi menarik ketimbang cerita manusia botolnya itu. Tapi, bagaimanapun, banyak pembaca yang telanjur menyukai cerita itu. Terutama saat ia mendeskripsikan sosok Subothel. Begitu detail. Begitu gamblang. Begitu mengada-ada. Tapi tak masalah, ini hanya fiksi, pikir Marwan Zarkoni ketika itu.

Kini benak Marwan Zarkoni berujar lain. Aku hanya penulis sampah. Banyak pembaca yang menyukai tulisan sampah. Terlepas dari itu semua, buku itu akan diluncurkan esok hari. Marwan Zarkoni yakin akan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan tentang Subothel, seperti misalnya, ia dapat ide dari mana? Apakah tokoh Subothel benar-benar ada? Atau, mengapa ia memilih cerita Subothel sebagai judul buku, dan sebagainya, dan semacamnya…

Menjelang akhir malam, Marwan Zarkoni memutuskan untuk berhenti memikirkan seseorang yang baru saja meneleponnya. Ia yakin, itu ulah salah seorang pembaca cerita-ceritanya, atau barangkali kawan dekatnya, yang ingin memberinya sebuah kejutan pada malam menjelang peluncuran buku terbarunya. Nyatanya, sampai pagi datang, semua berjalan baik-baik saja. Di depan audiens, Marwan Zarkoni berbicara dengan sangat lancar. Bahkan, ia dapat menjawab semua pertanyaan audiens dengan baik. Tak tersendat sedikit pun.

Ya. Tentu saja semua berjalan sesuai rencana. Sebelum Marwan Zarkoni menatap sepasang mata mungil bulat yang mirip mata laba-laba itu di antara ratusan audiens. Sepasang mata yang dalam dan menatap tajam ke arahnya. Marwan Zarkoni tahu betul seperti apa bentuk tubuh pemilik sepasang mata itu. Mengingat kelucuan itu, seharusnya Marwan Zarkoni tertawa, atau setidaknya tersenyum. Tapi tidak, alih-alih Marwan Zarkoni tercekat. Membeku di antara tumpukan buku yang harus ia tanda tangani.***

Advertisement

Madiun, 2015-2020

Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Buku terbarunya, Bapak Menjadi Anjing. Kini bermukim di Malang.

 

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif