SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Sumur Pandan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Kalau biasanya mulut sumur itu bulat, kali ini bentuknya kotak. Kalau biasanya mulut sumur berada di ketinggian berbeda dengan permukaan tanah, sumur dalam cerita ini rata, sama tinggi dengan lantai rumput tempatnya berada. Persamaannya ia merupakan lubang menuju dunia bawah tanah.

Dulu ayah dan ibu sering melarangku melompat pagar dan bermain-main di area lapang yang angker di samping rumah. Entah di mana angkernya, aku hanya melihat lahan itu sebagai tanah lapang yang dirimbuni perdu.

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

Seberapa lapang? Ya, bayangkan saja kalian bisa leluasa bermain sepak bola di sana. Sementara, untuk mataku yang minus ini, melihat warna hijau berlimpah adalah kesenangan tersendiri.

“Pokoknya jangan ke sana,” kata ibu sambil tetap fokus pada bacaan di tangannya.

Baikah, aku menurut. Sebagai bocah sembilan tahun kala itu aku bisa apa. Jadi, aku masuk kamar dan mulai mengoceh di hadapan tembok.

Suatu hari, saat akhir pekan yang harusnya tenang dan damai, warga perumahan berkumpul di tanah lapang sebelah rumah. Semuanya pria dewasa. Para wanita hanya melihat dari kejauhan. Beberapa di antara para wanita itu mendekap anak mereka. Aku waktu itu hanya berani berdiri di teras, menyaksikan adegan demi adegan yang tidak aku pahami.

Sempat terlihat beberapa pria dewasa membopong kantung besar warna oranye. Kantung itu lalu dibawa masuk ke sebuah ambulans. “Ada anak hilang. Bukan dari perumahan ini. Tercebur ke Sumur Pandan,” kata ayah kepada ibu sesaat setelah semuanya bubar.

“Sudah ketemu, Yah?” tanya ibu.

“Sudah. Itu, yang mereka bawa dalam kantung.”

Ayah menyesap kopinya dengan tenang. Ibu pun kembali meraih bacaan yang sempat ia tinggalkan gara-gara keramaian di samping rumah. Aku? Tidak ada hal lain kecuali masuk kamar – sebuah ruangan dengan sudutnya yang biasa kusambangi untuk mengocehkan segala hal.

Banyak peristiwa saat aku kecil yang melintas begitu saja tanpa sempat terekam betul-betul di ingatan. Aku tahu segalanya ketika ibu bercerita. Wajar sebab ibu butuh lawan bicara yang tidak banyak menyahut sekaligus tidak hanya diam. Di rumah, ibu hanya berdua dengan ayah sementara anak-anaknya bekerja di kota lain. Apakah mereka tidak saling berbagi cerita?

Sementara Ibu berceloteh soal masa lalu, pikiranku melayang ke Sumur Pandan. Tanah lapang di samping rumah itu masih seperti yang dulu. Perdu-perdu itu seperti tidak pernah tumbuh. Rimbunnya tetap. Aku merasa di tanah itu waktu tidak pernah bergerak.

Sesekali, saat aku melintas, aku seperti melihat selubung tipis transparan yang berkilat. Otak alienku berpikir itu adalah pintu menuju semesta lain, tetapi aku berhenti pada teori hipoglikemik yang sedang kumat.

Jika kalian membayangkan mulut sumur itu dikelilingi tanaman pandan, segera buang pikiran itu. Di sana sama sekali tidak ada tanaman pandan. Aku tidak tahu jenis perdu apa saja di sana, yang jelas di tepi tanah lapang itu berjejer lima pohon kenanga yang tingginya sekitar lima belas meter. Pohon-pohon itu yang membatasi tanah lapang dan jalan perumahan.

“Kalau kamu berdiri di sana lima menit saja, aroma pandan itu akan tercium,” kata ibu. “Seperti tersembur begitu saja dari lubang sumur.”

“Ibu pernah melakukannya?”

“Tidak,” jawabnya tegas. “Aku tidak sebodoh mereka yang percaya begitu saja dengan cerita-cerita karangan orang-orang tua.”

“Tetapi ibu menceritakannya kepadaku.”

Ibu diam. Ia menatapku sebentar lalu kembali menekuni bacaannya. Apa yang ia baca? Entah, aku tidak tahu. Buku itu sama dari tahun ke tahun. Bersampul hitam polos dan cukup tebal untuk dijadikan penahan pintu.

“Koran ini hanya berisi berita tidak bermutu,” gerutu Ibu tanpa mengubah fokusnya. Ah, padahal kulihat ia sedang memegang buku tebal bersampul hitam.

Saat aku berada di rumah—yang hanya satu bulan sekali selama dua hari—aku tetap mengunjungi sudut kamar tempatku berbagi cerita. Sudut itu tidak pernah ditempati barang apa pun, membuatku leluasa bersila sambil mengocehkan banyak hal. Tembok itu tahu segalanya tentang puluhan tahun rentang hidupku, termasuk mengapa aku belum juga ingin meminang seorang gadis. Tahu bagaimana sulitnya jatuh cinta, juga menerima cinta? Ya, begitulah adanya.

Pada waktu-waktu tertentu, ketika aku menatap salah satu sisi tembok, aku disuguhi tontonan. Seringnya aku melihat suasana remang sebuah ruangan dengan dinding tanpa plester semen. Bata-bata itu berlumut. Terdengar desis pelan, namun cukup jelas sementara hidungku menerima aroma pandan.

Penjelasan cukup logis aku terima dari seorang bapak yang tinggal di blok lain. Aku tak sengaja bertemu dengannya saat membeli lotek untuk Ibu. Ia mengenaliku sebagai anak Pak Setyo dan Ibu Murni. Saat itu, aku berpikir bahwa di matanya wajahku tidak berubah sedikit pun sampai begitu tepat menyebut nama orang tuaku. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan cengkerama itu. Kutanyakan beberapa hal yang memang masih menjadi misteri di benakku, termasuk soal Sumur Pandan.

Baca Juga:Perayaan Kematian

“Tidak ada yang aneh di sana, Nak Bimo,” kata Pak Tua. “Itu hanya lubang tempat lintah-lintah hidup. Saya pernah melihatnya. Beberapa kali. Ketika kasus anak-anak hilang bermunculan.”

“Kenapa dinamai Sumur Pandan? Apakah memang ia menguarkan aroma pandan?”

Pak Tua menghela napas. Disesapnya sisa es teh, lalu kembali bicara, “Tampaknya orang-orang sulit membedakan aroma pandan dan aroma kenanga. Tidak ada pandan yang tumbuh di sana. Hanya ada perdu entah jenis apa. Dan, anak-anak itu, yang terperosok ke lubang, semua memiliki bekas gigitan ular. Saya tahu, seharusnya dari dulu area itu dipagari atau semacamnya agar tidak ada lagi anak-anak mencuri masuk ke sana.”

Aku juga heran mengapa banyak anak tertarik dengan tanah lapang itu. Tempat itu tidak bisa dijadikan arena menerbangkan layangan, tidak pula jadi lahan bermain sepak bola. Ada sesuatu di sana yang jelas-jelas menarik perhatian anak-anak. Apakah mereka juga melihat selubung tipis transparan yang berkilat? Aku melihatnya sejak usiaku sembilan sampai sekarang, tetapi aku tidak pernah ingin mendekat.

Ada suara-suara di kepala yang melarangku menginjak tempat itu. Suara-suara itu bahkan bertahan sampai sekarang. Kadang, ia terdengar saat aku tengah sibuk bekerja. Jika sudah begitu, aku harus berhenti bergerak, duduk diam, lalu mengamati apa yang datang dan pergi.

Otakku mengindentifikasikan suara itu sebagai milik perempuan. Biasanya aku bisa menebak usia orang hanya dari suaranya, tetapi tidak untuk yang satu ini. Gendang telingaku tertarik karena suara itu cukup merdu. Datang dari sudut kamar dengan pendar tipis biru kehijauan.

“Datanglah,” kata suara itu. “Engkau tahu tempatku.”

Mendengar lelembut yang lembut, siapa yang tidak terpancing? Betulan itu menggugah keinginanku untuk menyambangi tempatnya. Tetapi, di mana? Entah. Ia menganggap bahwa aku tahu tempatnya.

Aku sampai. Mulut sumur itu cukup lebar untuk dimasuki tubuh orang dewasa, bahkan yang tambun sekali pun. Aku menaksir dalamnya sekitar dua meter dengan dasar tampak jelas. Suara itu muncul lagi. Tanpa pikir panjang aku masuk. Cukup mengejutkan karena ternyata kedalamannya lebih dari dua meter. Selisih banyak. Dari bawah sini aku nyaris tidak bisa melihat tepian mulut sumur.



Pikiranku segera teralihkan oleh aroma pandan yang tiba-tiba hadir. Ini seperti membaui bolu kukus yang sering ibu buat saat aku kecil. Hanya saja, yang ini aromanya lebih kuat sekaligus terasa lembut. Selain gendang telinga, ternyata sensor di lubang hidungku mulai memihak sumur ini.

“Kemarilah Bimo. Ikuti suaraku.”

Mungkin inilah contoh laku ungkapan seperti kerbau dicocok hidungnya. Aku menuruti suara itu dan tidak merasa terbebani. Tak lama menyusuri lorong, aku mulai melihat cahaya. Seperti suasana pagi saat matahari belum terlampau terik. Aroma pandan menjadi-jadi. Sampai di ujung lorong mataku menumbuk setapak yang kanan-kirinya ditumbuhi perdu pandan.

Oh, ternyata mereka mengatakan yang sebenarnya.

Jauh dari tempatku berdiri, di ujung setapak, ada sosok dengan busana serbaputih. Kaki-kakiku begitu saja melangkah tanpa menunggu perintah otak. Mataku terpaku kepadanya. Sulit kujelaskan soal warna kulit perempuan itu. Yang jelas, itu rona paling segar yang pernah aku lihat.

Kembang layu mungkin akan hidup kembali hanya dengan sentuhannya. Satu langkah darinya, jantungku kembali berdetak.

“Aku tidak tahu bagaimana dulu kita saling mengenal. Aku hanya merasa sekarang kita memang sudah selayaknya bertemu,” ucapku.

Perempuan itu tersenyum.

“Begitulah adanya,” sahutnya. “Aku memanggilmu sejak usiamu menginjak sembilan tahun. Hanya saja, justru anak-anak lain yang datang. Ibumu tidak pernah menyerah.”



Aku tertawa dan terus mendekatinya hingga kami tak berjarak.

“Aku tahu. Ibu selalu membaca koran dengan berita-berita yang menurutnya tidak bermutu.”

Tukang permak naskah yang bersyukur bisa hidup di Bali. Suka musik, kopi, dan suasana pantai. Bercita-cita berkeliling Indonesia dengan gratis.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya