SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Surga di Telapak Kaki Bapak (Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Misdin baru pulang mencangkul, seorang diri beban keluarga ia pikul. Keringat membasuh tubuh, wajahnya tampak lusuh. Laki-laki berbadan kurus itu mengelap keringat, tiba-tiba saja kepada istrinya ia teringat. Sudah lama istrinya meninggal, Misdin bernapas tersengal. Kesedihan mencabik batinnya, merawat sendiri anak lelaki semata wayangnya.

“Kenapa Bapak menangis?” Suara Aji mengagetkan Misdin. Cepat ia usap air mata yang sudah berderai di pipi keriputnya.

Promosi BRI Dipercaya Sediakan Banknotes untuk Living Cost Jemaah Haji 2024

“Saya ingat ibumu,” lirih Misdin berucap.

“Kenapa Bapak tidak menikah lagi?” Pertanyaan Aji membuat Misdin terperangah, tak pernah ia sangka.

Misdin merangkul Aji, lalu ia bertanya, “Untuk apa?”

“Kesepian Bapak akan terobati. Dan kalau saya punya ibu lagi, saya jadi bisa mengabdi untuk seorang ibu. Bukankah surga berada di bawah telapak kaki ibu? Apa Bapak tidak ingin membawakan surga untuk saya?”

Misdin tersenyum menanggapi, heran dengan pola pikir bocah kecil itu. Tak ingin memperpanjang pembicaraan, Misdin menyuruh anaknya segera berangkat mengaji. Aji bersalaman, ke langgar Kiaji Syafrawi ia berangkat. Lima belas menit lagi Magrib, gelap mulai meraba.

Di langgar Kiaji Syafrawi anak-anak datang mengaji. Lelaki tua itu juga mengajarkan semua ilmu agama, mulai dari tata cara wudu yang benar, salat yang benar, hingga tata krama pada orang tua. Pelajaran mengaji dimulai bakda Magrib hingga menjelang azan Isya.

Kiaji Syafrawi selalu mengajarkan berbakti pada orang tua jika ingin tercapai segala impian, terlebih pada seorang ibu. Itu karena surga berada di bawah telapak kaki ibu.

Aji tak punya surga karena tak punya ibu, celetuk seorang teman Aji yang duduk di sampingnya. Kiaji Syafrawi memandang anak tersebut, mengisyaratkan agar tak menyinggung perasaan Aji. Perkataan temannya itu membuat Aji kepikiran karena itulah kepada bapaknya sering Aji memberi saran. Aji mengharapkan ibu baru semata-mata untuk mendapatkan surga di telapak kaki sang ibu.

Azan Isya berkumdang dibawa angin, Misdin berangkat menembus dingin. Ia menerabas gerimis untuk menjemput anaknya di langgar. Aji belum selesai salat jemaah Isya, Misdin menunggu di luar langgar. Kiaji Syafrawi mengajaknya salat berjemaah sekalian, Misdin mengiyakan.

Begitu selesai Salat Isya, semua murid Kiaji Syafrawi bersalaman. Kiaji Syafrawi menepuk pundak Misdin, memintanya tabah menghadapi cobaan. Hujan deras mengguyur seketika, sebagian teman Aji pulang dengan orang tua masing-masing, sebagian lagi menunggu hujan reda. Mereka menunggu di beranda, Kiaji Syafrawi menemani.

Obrolan mengalir, hujan masih mencair. Hingga kemudian seorang teman Aji bertanya kepada Kiaji Syafrawi, “Karena Aji tak punya ibu. Apakah Bapak Aji ini yang menyimpan surga di telapak kakinya?”

“Seorang ibu mengandung sembilan bulan dan kemudian bertaruh nyawa melahirkan anaknya, karena itulah surga ditempatkan di bawah kaki ibu. Kata-kata seorang ibu adalah kata-kata Tuhan. Ibu Aji sampai meninggal karena melahirkan Aji. Bakti Aji kepada ibunya ialah dengan cara mendoakannya.” Kiaji Syafrawi melihat wajah Misdin yang mulai gelisah.

Misdin buru-buru pamit pergi, segera ia menarik lengan Aji. Kiaji Syafrawi sungguh mengerti, pastilah Misdin tak ingin banyak mengungkit kenangan dengan sang istri. Mengingat itu semua membuat dada Misdin berlubang, kesedihan langsung mencengkeram. Misdin ingat saat menemani sang istri di ruang bersalin, berpesan ia kepada Misdin.

“Jagalah anak kita. Wujudkanlah cita-cita dan impiannya. Terserah kelak ia mau jadi apa. Impian saya kepadanya hanya satu, apapun impian anak kita itu harus dalam jalan Tuhan.”

Aji baru selesai berganti baju, Misdin sudah menunggu. Keduanya basah kuyup karena hujan yang mereka terabas dari langgar Kiaji Syafrawi sampai rumah. Dingin membelai tubuh mereka. Satu-satunya lampu neon yang berada di rumah itu menerangi mereka, listrik mereka dapatkan dari kemurahan hati tetangga.

“Apa benar kau mau jadi dokter?” Misdin bertanya kepada Aji.

Aji menjawab, “Iya benar. Saya ingin jadi dokter. Apa boleh, Pak?”

“Tentu saja boleh. Kau harus giat belajar agar impianmu itu tercapai.”

“Kalau jadi dokter itu harus bayar, ya Pak?”

“Kau tak tak perlu memikirkan biaya. Tugasmu belajar agar impianmu jadi kenyataan.”

Keinginan Aji menjadi dokter lantaran cerita yang dikisahkan sang bapak kepadanya. Misdin berkisah bagaimana sang ibu mengandung hingga melahirkan Aji. Jatuh air mata Aji, sedih dibuatnya. Masuk kamar, Aji memandang satu-satunya foto sang ibu  dengan mata berbinar.

Misdin mengetuk pintu, Aji membukanya. Cangkul di pundak Misdin, pamit ia kepada anaknya untuk bekerja pada malam hari, itu semua demi Aji agar impiannya menjadi dokter terwujud.

Aji bersalaman, pintu ditutup kembali. Misdin baru pulang jam dua belas malam, besoknya bekerja lagi, berangkat jam tujuh pagi. Sebentar saja Misdin istirahat, seolah tubunya terlihat sekarat.

Orang-orang senang dengan hasil kerja Misdin, cara kerjanya sangat rajin. Aji sendirian di dalam kamar, kembali memandangi raut wajah ibunya dalam bingkai foto. Sementara sang bapak sedang mencangkul di sawah, seorang diri, melawan dingin dan sepi. Dua petak sawah harus ia selesaikan semalam sebagaimana permintaan dari pemiliknya.

Aji tak bisa memejamkan mata, teringat sang bapak yang menanggung beban seorag diri. Ke sawah ia pergi, melihat bapaknya, khawatir sudah mati. Sinar bulan menyinari Misdin yang tengah mencangkul, Aji datang dan langsung merangkul. Terkejut Misdin, hati Aji prihatin. Oh, Tuhan, batin Aji, begitu berat beban Bapak, ditambah impian saya menjadi dokter.

“Kenapa kau ke sini?”

Aji tak menjawab apa-apa, hanya menangis dalam pelukan Misdin. Beberapa saat kemudian Aji berkata, “Pak, saya tak ingin jadi dokter. Saya mau bantu Bapak saja.”

“Kau harus sekolah tinggi. Kau harus menggapai impianmu. Jangan sampai jadi seperti bapak ini. Bapak hanya seorang kuli.”

“Tapi…” Aji tak bisa melanjutkan kalimatnya. Ia disuruh pulang. Misdin malah marah jika sampai Aji mengurungkan cita-citanya menjadi dokter.

Terpaksa Aji pulang, malam lengang. Misdin kembali melanjutkan pekerjaannya, tanah dicangkul, tubuhnya membungkuk, lenguh napasnya berat. Sesekali Misdin berhenti, mengistirahatkan diri, meneguk secangkir kopi. Misdin tidak peduli gerimis menghajar tubuhnya, memang ringkih tulang belulangnya, tetapi cukup tangguh kekuatannya.

Misdin jarang sakit, ke dalam tubuhnya sangat sulit masuk penyakit. Barangkali Tuhan memang menciptakan Misdin sebagai kuli, otot kuat seperti Bahubali. Kalau belum tubuhnya tumbang, terbaring di ranjang, Misdin tetap bekerja.



Semula Misdin mengira apa yang dicita-citakan anaknya fiksi belaka, sebagaimana impian anak kecil yang tak mengerti apa dan bagaimana maksudnya. Tetapi kemudian setelah Aji duduk di bangku kelas XII SMA, impian itu benar adanya. Kepada sang Bapak, Aji mengatakan hendak masuk fakultas kedokteran, cita-cita yang ia dambakan sejak lama.

***

Tubuh Misdin kian renta, penyakit mulai menyerang, bekerja pun mulai jarang, otot dan tenaganya seperti hilang. Sementara impian anaknya harus jadi nyata, demikian pesan istrinya dulu kepadanya.

Misdin mengambil cangkul yang digantung di samping rumah, bersiap ke sawah. Aji akan berangkat ke sekolah, dicium tangan bapaknya. Misdin bangga anaknya sudah dewasa, susah payah selama ini ia banting tulang membesarkan anak semata wayang. Lusuh baju Misdin, telanjang kaki berjalan, melewati pohon-pohon siwalan.

Sampai azan Isya berkumandang, Misdin belum juga pulang, Aji bimbang, pikirannya melayang. Aji menyusul ke sawah, tempat bapaknya bekerja. Kepada orang-orang bertanya, di mana Bapak berada? Semua orang menggelengkan kepala. Mereka cuma bilang, terakhir kali melihat Misdin mencangkul di sawah milik Pak Sappar. Tergesa Aji melangkah dan seketika terperangah wajahnya melihat bapaknya tersungkur di tengah sawah.

Tubuh Misdin penuh lumpur, kakinya kotor. Aji meminta pertolongan, orang-orang datang. Dalam perjalanan pulang, orang-orang bilang kalau Misdin mengeluhkan sakit kepala tadi siang. Disuruh berhenti, Misdin menolak. Kata Misdin kepada orang-orang, ia harus giat bekerja supaya anaknya bisa masuk fakultas kedokteran, cita-cita itu harus ia wujudkan.

Mendengar cerita itu semua, dada Aji terbelah, ia merasa bersalah. Misdin dibaringkan di ranjang, sebagian orang sudah pulang. Aji berada di dekat bapaknya, menunggu terbuka matanya. Sepuluh menit kemudian, mata Misdin terbuka, wajah Aji yang terlihat pertama. Tirai jendela ditiup angin, Aji pegang tangan bapaknya yang dingin.

“Saya tetap akan jadi dokter, tanpa perlu jadi beban buat Bapak.”

Misdin terdiam, terasa lumpuh tubuhnya. Ia ingin berkata, tapi tak bisa. Ia coba paksa, jutsru sakit yang ia rasa. Aji menunggui bapaknya, malaikat maut mengintai di luar jendela. Misdin merasa kematian akan segera tiba. Benar saja, Misdin meninggal saat Aji selesai mengucap kalimat syahadat di tepi telinga bapaknya tersebut. Aji tak menangis, tapi hatinya sangat teriris.



Aji memandikan sendiri bapaknya, seluruh tubuh dibersihkannya. Kaki Misdin hitam legam karena sering telanjang kaki saat bekerja di sawah. Sambil membersihkannya, ke dalam batin Aji bicara, tidak salah jika surga berada di telapak kaki bapak sebab ia bapak sekaligus ibu bagi saya.

Pulau Garam, 2020

 

*)Zainul Muttaqin lahir di Sumenep, 18 November 1991 dan kini tinggal di Pamekasan Madura. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep Madura. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, 2019) Neraka Pemikat (Jagat Litera, 2021)

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya