Lifestyle
Sabtu, 24 Juni 2023 - 13:11 WIB

Tak Ada Doa untuk Bapak

Rumadi  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Tidak Ada Doa untuk Bapak (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Akhirnya saya tunjukkan juga makam Bapak kepada calon istri. Saya tunjukkan dengan wajah enggan. Seperti yang saya duga, makam itu tak terawat. Rumput liar menjulang setinggi betis, batu nisannya tak terbaca. Dengan telaten, istri saya mencabuti rumput liar itu. Saya katakan jangan, tetapi ia tetap melakukannya.

“Seburuk apa pun waktu ia hidup, ia adalah bapakmu. Kalau tak ada bapakmu, mungkin kamu tidak akan lahir di dunia ini. Dan kita mungkin tidak pernah menikah.”

Advertisement

Tahu apa ia tentang takdir? Saya dan calon istri memang sering berdebat. Tetapi kali ini, saya tak ingin berdebat. Yang ia katakan memang benar, tetapi seandainya Bapak tidak menikahi Ibu, saya pasti akan lahir dengan dengan bapak yang lain, atau ibu yang lain, yang mungkin akan lebih membahagiakan.

Ibu yang menyuruh saya untuk memakamkannya jauh dari makam Bapak ketika meninggal. Ibu tak ingin jika berdekatan Bapak akan mendatangi makamnya dan mengganggu ketenangan kematiannya. Ibu ingin damai. Ibu juga berpesan ketika itu.

“Jangan pernah datangi kuburan Bapakmu. Tak usah adakan selamatan, laki-laki seperti dia pantas mendapatkan hal semacam itu.”

Saya tak akan melupakan segala yang diceritakan Ibu, termasuk hari-hari ketika Ibu dipaksa menikah dengan Bapak.

Hari-hari semasa hidupnya, Ibu lebih sering bersedih ketika Bapak masih hidup. Bapak adalah anak kepala desa, anak tunggal yang manja. Segala kemauannya dituruti kedua orang tuanya, termasuk ketika Bapak yang ketika itu beranjak remaja masih suka keluyuran tidak jelas, meminta orang tuanya untuk melamar Ibu. Ibu menolak mentah-mentah ditambah Ibu ingin melanjutkan SPG (Sekolah Pendidikan Guru).

Ibu menolak, tetapi Kakek dan Nenek dari pihak Ibu menerima lamaran itu. Kakek tak menggubris Ibu yang menangis sepanjang malam. Kakek dan Nenek mengunci Ibu di dalam kamar.

“Apa gunanya sekolah untuk perempuan? Perempuan memiliki tiga tempat: sumur, dapur, kasur. Tak penting sekolahmu itu. Kau tak tahu, Darso, anak kepala desa, memiliki empat petak sawah. Pikirkan masa depan!”

Advertisement

Ibu tetap menolak dan Ibu dipaksa menikah ketika ia belum menyelesaikan pendidikan sekolahnya. Ibu menangis tersedu-sedu di hari yang seharusnya paling membahagiakan bagi seorang perempuan.

Setelah menikah, Bapak tak berubah. Ia masih sering keluyuran, ditambah lagi, Bapak suka sekali bermain judi, entah dalam bentuk kartu, togel, sabung ayam, dan berbagai macam judi yang lain. Ibu mendapatkan pekerjaan sebagai buruh tani di sawah orang.

Sebelum matahari terbit, Ibu sudah menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah. Tepat saat matahari terbit, Ibu telah pergi ke sawah sementara Bapak masih mendengkur dalam selimutnya. Kebiasaan Bapak tersebut, berlanjut hingga kematiannya.

Mertua Ibu tidak pernah berusaha mencegah keburukan anaknya. Selalu ada jatah dari Kakek dan Nenek untuk uang belanja Ibu, tetapi uang itu tidak pernah sampai ke tangan Ibu. Bapak menggunakannya untuk bermain judi. Ibu tak pernah menanyakan atau memintanya. Hingga mertua Ibu meninggal dan kehidupan Bapak berubah. Saat itu, Ibu telah mengandung saya.

Bapak bersedih bukan main. Ia menangis, meraung kesetanan, hingga harus dipegangi beberapa orang. Ibu hanya duduk ditemani orang-orang. Ibu tak mau melihat wajah kedua orang tuanya yang datang melayat. Wajah mereka menunduk, melihat betapa lelaki yang menikahi anaknya tak sedikit pun memberikan nafkah. Terlihat di wajah keduanya, masa depan anaknya yang suram.

Baca Juga: Hantu di Rumahku

Bapak masih seperti kanak-kanak, yang belum bisa menentukan kehidupannya sendiri. Ibu melahirkan saya dengan tabungan yang ia simpan diam-diam di belahan bambu tanpa sepengetahuan Bapak. Bapak menjadi pemarah sejak kedua orang tuanya meninggal.

Advertisement

Empat petak sawah yang seharusnya membuat keluarga Ibu menjadi mapan, membuat Ibu semakin terpuruk. Bapak menjual semua sawah itu, tidak menyisakan satu petak pun untuk Ibu, dan Bapak menggunakan uang hasil penjualan itu untuk berjudi. Tidak main-main. Bapak bukan penjudi ulung. Ia hanya beberapa kali menang dan ketika ia telah dikuasai nafsunya, ia akan mempertaruhkan segala yang ia punya.

Bapak tidak bisa berhenti di saat ia telah memiliki banyak kemenangan. Bapak seperti Yudhistira yang tak berkutik di meja dadu. Ia selalu menerima tantangan berjudi, kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja. Bapak sudah gila judi.

Saya lahir dan saya mengenal neraka sejak lahir. Ibu hanya dibantu dukun bayi yang terbiasa membantu persalinan, belum ada bidan ketika saya lahir. Bapak berada di meja perjudian ketika saya lahir. Tetangga-tetangga yang bersaksi dan menceritakan pada Ibu.

Uang penjualan tanah telah ludes. Bapak tak menyisakan satu kemenangan pun dan ia masih suka berjudi. Bapak menjadi pemarah. Bapak menggeledah lemari Ibu, mencari apa saja yang bisa ia gunakan untuk berjudi. Ibu tak mau menunjukkannya, saya menangis, tak ada yang menenangkan saya, cerita Ibu ketika itu.

Bapak memukul Ibu untuk pertama kalinya sampai pipi Ibu lebam. Ibu menangis sesenggukan. Bapak tak peduli. Mata Bapak berbinar ketika Bapak melihat batang bambu yang telah dibelah dan berisi uang simpanan Ibu. Bapak mengambilnya dan pergi dari rumah dengan bersiul-siul merdu. Saya dibesarkan dengan amarah yang menyala di mata Bapak.

Di matanya, saya hanya pengganggu bagi kehidupannya. Sejak kecil, Ibu telah mengajari saya bekerja keras. Ibu sering membawa saya ke sawah, mendudukkan saya di pematang, sementara Ibu membersihkan rumput, menanam padi, dan pekerjaan lain yang bisa Ibu kerjakan di sawah orang.

Kakek dan Nenek saya berkali-kali menawari untuk merawat saya ketika Ibu bekerja, tetapi Ibu menolaknya mentah-mentah. Ibu memilih untuk merawat saya seorang diri.

Advertisement

Ketika saya masih bayi, ketika Ibu sedang sibuk di dapur, dan saya rewel, Bapak akan kesal bukan kepalang. Bapak tak tahan dengan suara tangis bayi. Itu sebabnya Bapak jarang sekali berada di rumah, kecuali sudah larut, dan ketika saya telah tidur.

Bapak tak tahan mendengar tangisan saya. Bapak menyalakan rokoknya dan menyundut tangan saya dengan rokok. Saya menangis sejadi-jadinya. Ibu yang semula berada di dapur langsung berlari ke depan, melihat keadaan saya yang menangis semakin kencang.

Ibu melihat tangan saya yang melepuh. Ibu bertengkar dengan Bapak—lagi. Bapak menempeleng Ibu sebelum pergi. Ibu tak menangis. Ibu merasa tak berguna menangis.

Setiap kali Kakek dan Nenek menjenguk saya, Ibu langsung menutup pintunya. Terkadang Kakek dan Nenek menunggu kami seharian keluar atau ketika Ibu pulang dari sawah, kemudian melihat Kakek dan Nenek, Ibu memilih mengajak saya pergi ke pasar. Ibu membiarkan Kakek dan Nenek menunggu. Setelah yakin Kakek dan Nenek pergi, Ibu baru membuka pintu. Saya melihat ada perasaan lega di wajahnya.

Terkadang, Kakek dan Nenek menyelipkan uang ke dalam saku saya. Tentu tanpa sepengetahuan Ibu. Namun Bapak selalu tahu karena saya tak bisa menyembunyikan kegembiraan saya ketika mendapatkan uang dari Kakek dan Nenek. Bapak akan menggeledah saku-saku saya, kemudian mengambilnya. Saya merengek dan Bapak tidak peduli. Bapak akan pergi dengan wajah semringah.

Saya tumbuh dengan amarah Bapak. Jika Bapak menyuruh saya untuk mengambilkan sesuatu, ketika saya mulai mengerti disuruh, saya harus cepat-cepat mendapatkannya. Jika tidak, Bapak akan menempeleng kepala saya atau menendang kepala saya. Tak jarang pula Bapak menjambak rambut saya.

Berkali-kali Bapak mengatakan kenapa kamu lahir, kamu tak seharusnya ada di dunia ini. Bapak tak bisa berjudi gara-gara kamu. Saya hanya bisa menangis sesenggukan. Setelahnya Ibu akan mendekat dan menghibur saya agar jangan menangis. Laki-laki tak boleh menangis, kata Ibu.

Advertisement

Beberapa kali saya menumpahkan makanan atau minuman Bapak, yang membuat Bapak murka. Bapak menjambak rambut saya hingga saya meronta dan Bapak menampar muka saya hingga telinga saya berdengung. Bapak memaki-maki saya, mengatakan saya anak tak berguna. Bapak mungkin dilahirkan oleh iblis.

Saya melihat dengan kepala mata sendiri ketika Bapak pulang entah dari mana, Bapak sedikit demi sedikit berhenti berjudi karena uang Ibu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bapak menumpahkan segala makanan yang baru dihidangkan di meja. Urap daun petai, ikan asin, dan orek tempe, berceceran di tanah.

“Setiap hari makanan seperti ini! Daging, mana daging!”

Ibu yang sedang mengambil piring untuk menghidangkan makanan, langsung menampar Bapak untuk pertama kalinya. Ibu mencoba melawan. Namun Ibu tetap seorang perempuan. Bapak menjambak rambut Ibu, tetapi saya melihat Ibu tidak meronta meski meringis kesakitan. Bapak mendorong tubuh Ibu hingga kepalanya membentur pintu.

“Tak akan ada air mata untuk lelaki itu! Apa pun yang terjadi.” Ibu bersumpah serapah setelah Bapak pergi.

Dan benar, beberapa hari kemudian, Bapak pulang dengan wajah babak belur. Seluruh wajahnya lebam. Bapak mengatakan seluruh tubuhnya terasa sakit. Ibu tak peduli. Berkali-kali Bapak mengiba supaya Ibu merawat luka-lukanya. Ibu tetap teguh dalam pendiriannya.

Hingga kemudian hari saya tahu Bapak berutang pada banyak orang untuk berjudi dan ia kalah lagi. Bapak tak bisa membayar di hari seharusnya Bapak melunasinya. Bapak mengatakan uang itu ada pada istrinya. Tetapi, mereka menjawab tak ada urusan dengan istri Bapak. Begitu cerita yang sampai ke telinga Ibu yang kemudian diceritakan kepada saya.

Advertisement

Hingga Bapak menggigil, kesakitan, dan selang tiga hari kemudian Bapak meninggal. Ibu tak mau melaporkannya, Ibu tak mau repot mengurus kasus Bapak. Melaporkannya berarti bunuh diri.

Ibu melarang tetangga untuk datang ke rumah untuk selamatan.

“Orang seperti dia tak pantas didoakan. Tak ada selamatan untuknya.”

Orang-orang berpulang sambil bergumam. Ibu memeluk saya, erat sekali.

“Kelak jika ibu mati, jangan makamkan ibu di dekat makam bapakmu. Ia telah membuat rumah ini menjadi neraka semasa hidupnya dan Ibu tak ingin Bapak memberikan neraka di kuburan Ibu.” Itu pesan Ibu kepada saya ketika semua orang yang hendak tahlilan pulang kembali dengan bergumam.

“Jangan rawat makamnya. Biarkan saja. Makamnya tak perlu dirawat. Manusia sepertinya tak perlu didoakan.”

Ada dua permakaman di desa kami, yang pertama berada di sebelah selatan perbatasan desa, yang kedua berjarak lima petak sawah dari makam pertama. Keduanya dihubungkan pematang sawah.

Advertisement

Bapak berada di makam pertama sedangkan Ibu berada di makam yang kedua. Sejak saat itu, saya tak sekali pun menjenguk kuburan Bapak, apalagi mendoakannya. Hingga akhirnya calon istri saya, yang telah mengetahui semua cerita yang diceritakan Ibu kepada saya, mendesak untuk melihat makam Bapak.

Calon istri saya menabur bunga di atas makam Bapak. Setelah dirasa makamnya cukup bersih, calon istri saya membacakan doa-doa untuknya. Dan saya masih enggan berdoa untuk Bapak.

Ciputat, 30 Oktober 2022

Rumadi, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan Komunitas Prosatujuh. Cerpennya dimuat berbagai media cetak dan daring. Bukunya yang telah terbit, Melepaskan Belenggu dan Luka Tak Tersembuhkan.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif