Lifestyle
Sabtu, 2 Desember 2023 - 11:39 WIB

Tanduk Tumbuh di Kepala

Farizal Sikumbang  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Tanduk Tumbuh di Kepala (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Suara batuk suaminya dari kamar terdengar berulang-ulang. Nampaknya sakitnya semakin parah. Suara batuk itu seperti hendak mengabarkan pada istrinya jika ia butuh pertolongan. Namun, istrinya seperti tidak menangkap makna apa-apa selain suara batuk yang sangat menjengkelkan.

Dia  melihat dua anak laki-laki kecilnya masih sibuk bermain pasir di depan rumah. Perempuan itu sedang meremas santan kelapa dengan hati kesal. Dengan hati penuh kedongkolan, dia akan memasak ikan tongkol yang dia di beli hari ini.

Advertisement

Suaminya di dalam kamar terdengar terbatuk lagi. Dia masih saja tidak hirau pada batuk suaminya itu. Ia hanya berpikir tentang uang yang tersisa sepuluh ribu rupiah di kantongnya dan juga perihal beras yang tersisa satu bambu lagi.

Perempuan itu merasa hidup begitu sulitnya. Mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seorang diri. Sejak suaminya lumpuh dua tahun silam, dialah yang menjadi tulang punggung keluarga. Mendapatkan upah dengan bekerja menjadi pembersih dan memelihara tanaman pohon jati milik Juragan Salim di hutan kampungnya. Dia bekerja dari pagi sampai sore hari.

Di tempat di bekerja, si mandor kebun yang bernama Husein sangat perhatian padanya. Tidak itu saja, laki-laki itu seperti tahu setiap dia dalam kesusahan. Tak jarang si mandor memberikan upah lebih padanya. Dan dia tidak pernah menolak setiap pemberian itu karena dia memang membutuhkannya.

Kawan-kawan sesama pekerja malah memberikan saran padanya agar dia jangan terlena. Tapi dia tidak hirau, toh si Husein tak pernah bertingkah macam-macam.

Terkadang terpikir juga dalam hatinya, mengapa suaminya tidak seperti Husein, mengerti pada kesusahan hidupnya. Penuh perhatian lagi. Jika dia merasa letih bekerja di hutan, misalnya, si Husein akan datang membawakan minuman dan makanan ringan. Terkadang Husein juga membawakan nasi bungkus untuk makan siang. Dia merasa tersanjung diperlakukan seperti itu. Di rumah dia tidak mendapatkanya, kecuali rintihan suaminya dan kenakalan dua anak kecilnya.

Pada suaminya, bukan dia tak sayang, sudah berulang dia membawa suaminya ke tukang urut patah tulang dan dukun kampung bermata elang, tapi penyakit lumpuh tersebut tetap saja tak mau sembuh. Dia merasa putus asa. Tak akan mungkin suaminya sembuh seperti semula.

Perempuan itu mulai jenuh, mendapatkan suaminya tak bisa berbuat apa-apa. Maka pertengkaran mulai sering mengaung sampai ke luar jendela. Dia acap mengumpat, mencaci, dan terkadang seperti pesilat: menendang dinding rumah meski dengan gerak berat dan si suami di akhir keributan selalu terduduk.

Advertisement

Laki-laki itu merasa tak berguna. Batinnya merana. Namun ia dengan cepat akan memaafkan, melupakan setiap pertengkaran. Mengaramkan dendam, sakit hati, dan hinaan.

Baca Juga: Suara-Suara

“Yusniar, kau berikanlah aku segelas air, tak kau dengarkah aku batuk,” kata suaminya dari dalam kamar.

Perempuan itu terus meremas santan seperti orang geram. Dia seperti dikalahkan kesabaran.

“Yusniarrr.”

Dia masih tidak peduli pada suara suaminya.

“Yusniarrr.” Kali ini terdengar nada suara suaminya serak dan pelan atau seperti rintihan.  Sebentar kemudian dia terbatuk-batuk lagi.

Advertisement

“Buyuuung, kau ambilkan bapakmu air minum. Buyunnng,” kata perempuan itu lantang.

Si anak laki-laki itu tergesa-gesa memasuki rumah. Mengambil secangkir air lalu dengan pelan memasuki kamar. Tapi, terdengar gerutu si anak yang memasang wajah masam. Sementara, perempuan itu terlihat telah selesai meremas santan.

***

Biasanya perempuan itu menggunakan kendaraan roda duanya sendiri untuk pergi bekerja ke hutan, namun hari ini kendaraannya tak befungsi. Dia berpikir mungkin kendaraan itu sudah tua. Lagian, dia pun hampir tak pernah merawatnya, seperti mengganti olinya. Padahal jarak tempuh saban hari begitu jauhnya. Mestinya dia memperhatikan kendaraan itu seperti dia memperhatikan dirinya sendiri.

Tapi, ah itu tak mungkin. Dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Tapi, pagi ini, dia merasa begitu bodohnya. Mengapa abai pada alat transportasi penting itu. Dia tidak bisa ke mana-mana jika kendaraan itu rusak. Di sini tak ada alat transportasi umum. Kampungnya begitu jauh. Tersuruk berpuluh-puluh kilometer dari ibu kota kabupaten.

Perempuan itu menunggu di persimpangan kampung, menanti jika ada yang dapat berboncengan dengannya. Jarak persimpangan ke tempat kerjanya sekitar lima kilometer, melewati jalan yang dikelilingi pohon-pohon besar. Dan hari ini dia beruntung karena tak lama menunggu, Husein datang seperti pahlawan kepagian. Atau memang sudah digariskan, mereka bertemu pada pagi berhawa hujan.

“Yusniar, kamu tak membawa kendaraan?”

Advertisement

Pertanyaan Husein dilontarkan dengan nada pelan dan sopan. Juga ada aura kelembutan. Dia yang sejak semalam diselimuti hati kusam, seperti disiram air madu hutan. Seketika saat melihat si Husein, hatinya menjadi riang jalang.

“Iya, Abang. Kendaraanku mogok.”

Husein seperti mendapatkan impian yang sudah lama terpendam. “Naiklah bersamaku. Aku juga tak ada boncengan.”

“Baik Abang. Maaf aku merepotkan.”

“Tidaklah Yusniar. Aku sangat senang.”

Yusniar lalu beboncengan. Husein memacu kendaraan. Jalan menuju kebun itu tidaklah mulus. Ada banyak lobang dan tikungan tajam. Sesekali ada tanjakan. Yusniar memegang erat pinggang Husein karena takut jatuh dari kendaraan. Sesekali terdengar pekik Yusniar karena kaget kendaraan terlonjak.

Dalam perjalanan itu, mereka bagai dua orang kasmaran. Pekik siamang, cerucut burung hutan, dan awam hitam mengantar gerak perjalanan.

Advertisement

***

Di Lamteuba itu setiap gosip seperti berkaki, melompat ke setiap pintu rumah. Lalu ia mengawini perempuan-perempuan pesilat lidah. Perihal Yusniar pergi berboncengan dengan Husein menjadi topik hangat. Sampai berbuih-buih mulut mereka memperbincangkan.

“Katanya Yusniar sempat memegang pinggang.”

“Katanya juga tak hanya pinggang, tapi juga pusar.”

“Ha, ha ha…”

“Waduh, bisa terangsang itu.”

“Bisa terbang.”

Advertisement

“Apanya?”

“Burungnya.”

“Celaka dua belas.”

“Celaka tiga belas. Tak tahu dia suaminya lumpuh. Perempuan jalang.”

Bagai tak ada. Bagai tak mendengar apa-apa. Yusniar dan Husein di hari-hari berikutnya masih pergi bersama-sama. Padahal gunjingan itu sudah sampai ke telinga. Mereka tak hirau pada  setiap gunjingan yang ke luar dari pintu rumah, di kedai, di jalanan, dan di masjid.

Perempuan itu mulai terlena pada Husein dan lupa bahwa di rumah dia memiliki suami yang terbaring lemah. Lalu si Husein tanpa sadar kini istrinya bunting delapan bulan.

****

Advertisement

Laki-laki itu terbaring kaku di pembaringan. Dua anaknya menangis tersedu-sedu.  Baju mereka masih terlihat bekas noda darah. Tadi siang kedua anak itu menemukan ayah mereka tergeletak di bawah jenjang rumah. Kepalanya berdarah.

Para pelayat duduk bersila. Mereka saling berbisik entah apa.

Yusniar duduk di sudut kamar. Sesekali matanya menatap tubuh suaminya itu. Dia merasa sangat lelah hari ini. Rasa bersalah menggerogoti tubuhnya. Kepalanya terasa sakit. Bahkan terasa sangat sakit. Seperti benda entah apa akan keluar dari kepalanya. Sesuatu yang ia rasa, seperti ingin melompat, menyepak-nyepak, kepalanya terkadang seperti ingin meledak.

Perempuan itu sangat takut. Wajahnya pucat. Tiba-tiba dia teringat kata-kata neneknya dahulu. “Nenek tak ingin suatu hari  di kepalamu tumbuh sepasang tanduk. Kamu tak boleh durhaka pada suamimu.”

“Tanduk. Dua tanduk? Apa iya?” katanya penuh bimbang.

Lalu, di kepalanya terbayang wajah Husein.

***

Farizal Sikumbang lahir di Padang dan tinggal di Banda Aceh.

 

 

Advertisement
Kata Kunci : Kematian Rumah Tangga Sawit
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif