SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Tompangan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Jam menunjukkan pukul 23.45 WIB saat Albi dikejutkan bunyi kentung yang menggelinding dari timur. Bunyi itu semakin riuh berpadu bunyi lumpang kayu menyesaki pekat malam.

Lalu teriakan-teriakan bersusulan, kaki-kaki melangkahi lahan persawahan dan kebun siwalan. Sebagian warga keluar rumah membawa lampu senter, parang, golok, dan celurit. Malam cekam seperti bergetar dalam pendar maut yang mengintai setiap orang.

Promosi Aset Kelolaan Wealth Management BRI Tumbuh 21% pada Kuartal I 2024

“Terjadi pencurian lagi,” Albi menoleh ke wajah Kiya, istrinya.

Sima hanya mengangguk dengan wajah setengah pucat penuh ketakutan.

Albi bergegas ke beranda, melihat keadaan kandang sapi yang ada di seberang halaman rumahnya. Kandang itu terlihat aman. Sekungkung daun siwalan kering menutupi daun pintu kandangnya yang terkunci.

Albi kembali masuk ke rumah yang sederhana dan duduk di samping Kiya. Ia tidak baur bersama warga untuk datang ke tempat pencurian karena dirinya yang tua sudah tidak bisa lagi berjalan normal sebagaimana warga lain.

Ponselnya yang bermerek tak terkenal tiba-tiba menyala. Ia mengangkat ponsel itu tanpa melihat siapa yang memanggil karena ia memang buta huruf. Setelah diterima, dari arah lawan bicara terdengar suara lamat menyisik malam.

“Ayah! Hati-hati, Pak Sunar kehilangan sepasang sapi, pencurinya sebentar bisa dibuntuti. Tapi sayang, kala itu warga masih sedikit sehingga pencuri itu leluasa lari dan setelah tiba di jalan raya mereka naik pikap dengan sapi curiannya menuju arah utara,” suara Dirman, anak Albi satu-satunya terdengar terengah-engah menjelaskan peristiwa pencurian itu.

Setelah panggilan ditutup, tangan Albi gemetar menaruh ponsel ke atas meja. Ketakutan baur melukis kernyit kulit bergaris-garis di keningnya. Malam sangat mencekam.

Albi mendongak ke langit-langit rumahnya, ia teringat peristiwa pencurian yang hampir terjadi setiap malam di desanya. Malam sebelumnya, sekandang ayam milik Dahnan raib, dua malam sebelum itu sapi Yakub disikat, tak jauh waktu sebelum itu, sepeda motor Dulkin lenyap dari pekarangan rumahnya bersamaan dengan talu beduk Salat Isya. Masih banyak pencurian lain yang Albi ingat dengan dada yang sesak. Albi menarik napas panjang lalu kembali menatap istrinya.

“Kiya! Bagaimana dengan undangan yang besok pagi? Apa kita mau hadir?” ia kembali melanjutkan pembicaraannya yang sempat tertunda setelah ada keriuhan bunyi kentung. Sambil lalu mungkin ia sengaja mengalihkan pembicaraan untuk mengobati rasa takut istrinya.

“Bila tidak hadir kita dikecam orang yang tak tahu tengka, Pak!”

“Orang yang punya hajat besok, tidak kenal kepada kita. Hanya saja undangannya sampai ke kita,” kilah Albi sambil melihat tumpukan undangan berupa sebungkus rokok yang tengah berjajar dengan tumpukan rokok lain yang juga berupa undangan hajatan. Sudah jadi tradisi di desa itu kalau ada hajatan undangannya tidak hanya selipat kertas melainkan lipatan kertas dimasukkan di sebungkus rokok.

“Itulah anehnya hajatan saat sekarang, Pak! Meski belum kenal tapi tetap diundang. Itu karena yang diharapkan bukan nilai silaturrahimnya, tapi lebih berharap pada barang dibawa para tamu.”

“Besok kamu harus bawa beras dan gula dan aku harus bawa uang untuk tuan rumah serta uang sawer untuk sinden. Lusa juga ada undangan. Empat hari lagi begini lagi padahal beras gula yang kita bawa kemarin ke hajatan Pak Tallib masih belum dilunasi ke Obak Maqbul. Besok kita akan dapat di mana?”

“Ya terpaksa, berutang lagi, Pak!”

Albi menggeleng-gelengkan kepala. Raut wajahnya sepekat malam, berpupur muram, dan bimbang, seraya mendongak ke langit-langit rumahnya yang acak-acakan dimakan rayap, bahkan terlihat beberapa kayu usuknya keropos dan patah karena tidak punya biaya untuk direnovasi. Pendapatannya setiap hari hanya ia keluarkan untuk acara tompangan.

“Saya yakin, maraknya pencurian di desa ini ada hubungannya dengan maraknya hajatan pernikahan yang menuntut para blater punya banyak uang, Pak. Sebab blater tidak seperti kita. Mereka ugal-ugalan, membawa beras dan gula dalam jumlah kuintal, mereka juga menyumbang uang yang banyak, bahkan saweran yang diberikan ke sinden kabarnya jutaan rupiah,” sambung Kiya memecah keheningan. Wajahnya terlihat dingin dirajah sinar lampu. Albi hanya bisa menoleh ke wajah Kiya, sebentar menunduk sambil menghela napas berat.

###

Akhirnya tiba juga kaki Albi di sisi pintu masuk acara hajatan meski ia tidak pernah kenal dengan tuan rumahnya. Peluh tipis berderai di sekitar keningnya, sambil lalu ia menoleh ke tempat parkir, tepatnya melirik motor bebek yang ia pinjam demi menghadiri undangan itu.

Berjejer di hadapannya panerima tamu memakai jas hitam, songkok nasional ukuran tinggi dan sarung bermerek lengkap dengan sabuk hitamnya. Rata-rata penerima tamu adalah blater dan para kepala desa.

Setelah bersalaman, Albi memasuki arena hajatan dan duduk di alas karpet karet. Mata Albi menatap sekitar, soundsystem ternama mengalun dahsyat dengan tembang kerawitan diselingi kidung dan pantun-pantun lelucon yang diputar dari CD operator.

Si sinden belum beraksi, ia nampak duduk manis di tengah hadirin. Sedang di sebelah barat arena ada pelaminan megah berornamen ukiran keraton warna kuning emas lengkap dengan aksesori bunga warna-warni dan beberapa lampu sorot. Mempelai memegang kipas, menatap hadirin begitu lembut. Hanya saja segala kelembutan itu tak membias ke hati Albi.

Di tengah gempita suka cita itu, Albi merasa ruwet memikirkan utang-utangnya yang menumpuk lantaran setiap hari selalu ada undangan hajatan. Sepintas mata Albi menyelinap pada tamu undangan wanita yang hanya bagian pantatnya terlihat karena tertutup tabir. Sudah pasti Kiya diterima di pintu masuk oleh penerima tamu.

Biasanya penerima tamu dibagi dua, ada yang bertugas menerima barang bawaan dan ada yang bertugas mencatat nama, alamat, serta jumlah barang bawaan. Setelah itu, barulah si tamu bisa masuk untuk sekadar makan dengan menu sangat sederhana lalu pulang membawa sekardus nasi dan sedikit lauk.

Setelah panjhak menyuguhi secangkir kopi dan sepotong kue, dua panjhak lain mendatangi undangan satu per satu. Seorang memegang cemmong4 dan satunya memegang kuitansi yang dilengkapi alat tulis.

Lalu masing-masing tamu undangan mengeluarkan uang dari sakunya, dimasukkan ke dalam cemmong dan dicatat panjhak yang memegang kuitansi. Albi melihat dengan teliti para undangan mengeluarkan uang pecahan seratus ribu rupiah, ada yang lima puluh, tujuh puluh, bahkan ada yang sampai satu juta rupiah. Hingga tanpa terasa dua panjhak itu kini duduk di hadapan Albi.

Albi merogoh sakunya, diambilnya uang pecahan dua puluh ribu sebanyak dua lembar dan dimasukkan ke dalam cemmong. Si tukang catat menanyakan nama dan alamatnya, Albi menjawab bersamaan dengan gerak awal seorang sinden yang menari-nari sambil berkidung di tengah-tengah hadirin.

Dua panjhak kembali ke tempat, kini giliran acara tari-menari dan sawer-menyawer bagi siapa yang dikasih penjhhung oleh sinden. Penjhung perdana dikalungkan ke leher Sukro, si raja blater berwajah garang, berbadan tegap hitam, dan berkumis panjang. Sukro terlihat menari-nari bersama sinden dengan sangat mesra.

Baca Juga: Bengkok

Di tangannya terjepit uang pecahan lima puluh ribu sebagai saweran. Si sinden menyambarnya riang. Tapi, Sukro terlihat belum puas. Seiring lengking kidung dan suara musik kerawitan bergema, Sukro mengambil uang lima puluh ribu lagi, diapit jari tengah dan telunjuknya yang diagkat seraya menari-nari. Si sinden menyambar uang saweran itu lagi.

Musik dan kidung kian membahana, meretakkan terik kilau matahari. Albi tertunduk, berharap agar dirinya selamat dari penjhung sehingga selamatlah sisa uang yang ada dalam sakunya. Dalam hati ia hanya bisa bergumam, “Betapa ini kemaksiatan yang nyata”.

Tak jarang Albi melihat hadirin yang menari menyelipkan uang sawer ke balik kutang sinden. “O..beginikah kesenian?” gumam Albi melongo dan lugu karena ia masih punya jiwa santri yang melekat kuat.



Tanpa diduga seketika sinden mengalungkan penjhung ke leher Albi, diiringi gerak genit dan sesungging senyum yang rekah di kedua bibirnya, tapi Albi tidak menari. Ia mengulur sawer sepuluh ribu kepada sinden seraya minta maaf. Barulah sinden itu pergi ke yang lain. Albi menunduk terpejam, “Mubazir!” gumamnya di alun gema gending dan saronen.

###

Sehabis Salat Subuh, Albi duduk di beranda masih dengan selingkar tasbih yang berputar di jemarinya. Kiya kemudian datang dalam keadaan masih mengenakan mukena.

“Sebaiknya kita menolak undangan rokok sebab bila terus menerus diterima, kita akan punya beban terus. Setiap hari kita sudah tidak bekerja malah disibukkan dengan acara tompangan. Kamu tahu, gara-gara itu utang kita sekarang sudah delapan juta.”

“Benar, Pak! Aku pikir ini sudah bukan lagi tengka seperti yang diajarkan nenek moyang. Dalam tompangan nyaris sama sekali tidak ada praktik songosong lombhung dan bahkan tidak ada lagi sedekah. Semua dicatat dan dianggap utang.”

“Dengan acara itu banyak warga yang terseret tapi tertekan. Kamu lihat tetangga kita Jalil yang harus lari ke Malaysia karena setelah acara pernikahan anaknya, ia punya utang besar untuk mengembalikan tompangan. Padahal anaknya sekarang sudah cerai-berai. Belum lagi tetangga lain yang setiap hari harus peras keringat untuk acara itu. Jelas ini bukan budaya kita.”

“Hmmmm, tapi kenapa ya kok acara itu masih dibiarkan ada?”

“Sebenarnya para kiai sudah berkali-kali menasihati masyarakat dan kepala desa untuk berhenti dari acara itu, tapi mereka tidak menggubris nasihat itu. Mereka lebih menghargai kata-kata blater, begitulah zaman sekarang.”

###



Langit berkabut tipis mirip gulungan kapas meneluh dada senja. Sepulang sowan dari rumah Kiai Badrun, Albi demikian riang menapak Jalan Pangabasen. Ia baru dapat acungan jempol dari Kiai Badrun karena berani berhenti dari acara tompangan yang penuh penekanan dan maksiat itu.

Di tengah gemerisik daun kering yang Albi tapaki, tiba-tiba Sukro muncul dari jalan simpang yang ada di hadapannya. Wajah garangnya tampak kian tak bersahabat, berpadu dengan sorot tatapannya yang tajam, sedang kumisnya menjurai melewati bibir hitamnya yang menakutkan.

“Pak Albi! Aku dengar kau kini sudah berhenti dari acara tompangan dengan menolak undangan yang datang. Ingat, Pak! Jika tetap demikian sikap Anda, maka nasibmu akan sama dengan Pak Sunar dan beberapa warga lain yang mencoba tak menerima undangan. Ternakmu akan segera raib!” ancam Sukro dengan nada keras sambil mengelus kumis angkernya.

Albi tertegun bingung antara bilang iya atau tidak, antara ikut nasihat blater atau ikut nasihat Kiai. Jika melawan nasihat blater kemungkinan ternaknya akan hilang. Tapi jika melawan nasihat Kiai kemungkinan akidahnya akan hilang. Ia bimbang, sunyi dan membisu sebisu awan kapas yang enggan bergerak ke bibir Magrib.

Dik-kodik, 2022
_______
1. Tompangan: Tradisi menyumbang barang atau uang kepada orang yang punya hajatan dalam jumlah yang tidak ditentukan. Tapi sumbangan itu tidak bersifat sukarela, biasanya dicatat dan dianggap utang yang harus dibayar oleh yang punya hajatan ketika si penyumbang melaksanakan hajatan.
2. Tengka: Adat/kebiasaan luhur nenek moyang.
3. Panjhak: Orang yang bertugas mengantar makanan atau menerima sumbangan di acara mantenan.
4. Cemmong: Wadah dari tembaga.
5. Penjhhung: Selendang sinden
6. Songosong lombhung: Gotong Royong

 

A.Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel dimuat di berbagai media. Memenangi beberapa lomba karya tulis sastra. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku sebagai Lelaki (Basabasi, 2020). Sedangkan buku puisinya yang berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangkan Lomba Buku Puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020.

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya