SOLOPOS.COM - POPULER: Irene saat berada di Pacitan, beberapa waktu lalu. Yang dikunjunginya bukan cuma tempat wisata populer, tapi juga tempat yang jarang dijamah orang. (FOTO/Istimewa)

PROMOSI--Yusuf (berkacamata hitam), Hemy (paling kanan) dan rekan-rekannya dari tim Explore Solo saat berada di Pulau Kiluan. Mereka bukan hanya melakukan travel, tapi juga mempromosikan berbagai tempat agar bisa diakses para traveler. (FOTO/Istimewa)

Perjalanan jauh keluar negeri identik dengan perilaku orang-orang berdompet tebal. Maklum, nilai perjalanan itu memang mahal dan tak banyak yang mampu menjangkaunya. Tapi bagi para traveler sejati, perjalanan bukan sekadar bersenang-senang, melainkan juga media untuk mengenal masyarakat dari berbagai budaya.

Promosi BRI Siapkan Uang Tunai Rp34 Triliun pada Periode Libur Lebaran 2024

2010 Lalu menjadi tahun pertama bagi Irene Femi Rahardiani bertualang ke luar negeri dengan tujuan Phuket, kota pantai tersohor di Thailand. Uniknya, Irene yang saat itu masih kuliah di D3 Sastra Inggris UNS tidak terlalu lama di pantai itu dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menjelajahi semenanjung Malaya lewat jalur darat. “Saya ke sana bukan dengan paket wisata tapi saya ke sana sendiri sebagai backpacker,” ujarnya saat ditemui Jumat (4/5) lalu.

Begitu mendapatkan sebuah tiket promo dari salah satu maskapai penerbangan di Asia, Irena langsung mempersiapkan diri menuju ke Jakarta. Di sana dia sempat menginap di rumah salah satu temannya yang dia dapatkan dari situs pertemanan para traveler dunia, yaitu Couchsurfing dan Hospitality. Dari sana, dia terbang menuju Thailand.

POPULER-- Irene saat berada di Pacitan, beberapa waktu lalu. Yang dikunjunginya bukan cuma tempat wisata populer, tapi juga tempat yang jarang dijamah orang. (FOTO/Istimewa)

Sendiri di negeri orang memang bukan hal yang mudah, termasuk bagi Irene. Gadis asal Selokaton, Gondangrejo, Karanganyar ini beruntung menemukan beberapa orang yang pernah berhubungan dengannya melalui Ibackpackerclub, sebuah grup di Yahoo yang juga menjadi forum para traveler. Ada tiga orang yang bersama-sama dengannya pergi ke Phuket saat itu dan kebetulan semuanya berasal dari Indonesia.

“Jadi kebetulan banget saat itu. Sudah sama-sama dari Indonesia, jumlah kami juga pas berempat. Di sana kan penginapannya satu kamar untuk empat bed dan tiap orang tarifnya Rp70.000 per hari. Soalnya kalau kurang dari empat orang, kami tetap harus bayar empat orang. Jadi pas banget buat kami.”

Namun, perjalanan yang sesungguhnya baru terjadi setelah itu. Saat kembali dari Phuket, Irene benar-benar melakukan perjalanan seorang diri karena ketiga rekan barunya itu juga punya rute perjalanan yang berbeda. Kali ini perjalanannya tidak dilakukan dengan pesawat, melainkan dengan bus. Dengan begitu, dia bisa mengunjungi kota-kota di sepanjang jalur Thailand-Malaysia.

Di Hat Yai, dekat perbatasan Thailand-Malaysia, Irene mengunjungi rumah salah satu member Couchsurfing yang mau menerimanya tinggal beberapa hari. Tuan rumah yang usianya 60-an tahun itu menyambutnya dengan baik meskipun belum pernah saling kenal.

“Orangnya baik banget. Dia mau menyambut saya padahal dia itu janda yang tinggal bersama anaknya.”

Begitulah yang dilakukan Irene selama perjalanannya dari Jakarta hingga Phuket dan Singapura. Di sepanjang perjalanan, Irene memang diterima di rumah-rumah orang yang sudah dikontaknya melalui situs pertemanan traveler dunia itu. Semuanya memberikan sambutan yang baik meskipun baru sekali bertemu. Tak heran jika perjalanan panjangnya itu total hanya menghabiskan Rp6 juta. “Itu termasuk banyak karena saya agak boros.”

Menurutnya, hal ini tidak lepas dari reputasinya yang baik di berbagai komunitas traveler itu. Sebelum melakoni perjalanan jauh dan jadi tamu di rumah-rumah orang, Irene memang sudah terbiasa menerima para traveler di rumahnya. Tercatat Irene 10 kali menerima traveler dan tiga di antara mereka berasal dari luar negeri.

“Di forum, ada istilah ‘house’ yang berarti jadi tuan rumah dan ‘couch’ yang berarti berkunjung. Kalau kita mau mencari orang yang mau menerima, search saja siapa yang statusnya open. Saya dulu sering menerima karena status saya yang open,” terangnya.

 

Promosikan Budaya

Tentu saja ini bukan soal perjalanan dengan biaya irit. Bagi mereka, semua itu menjadi bukti bahwa pertemanan bisa dilakukan dengan siapa saja apapun bangsa dan budayanya. Irene sendiri malah bukan hanya berteman, bahkan sampai berinteraksi lebih jauh dengan sesama anggota forum. Salah satunya adalah seorang pria asal Korea yang sempat datang ke rumahnya, beberapa waktu lalu. Sebelum sempat ke Indonesia, orang Korea ini malah sempat meminta Irene untuk membimbing anaknya belajar bahasa Inggris jarak jauh. “Saya mengajari anaknya selama setahun. Bahkan dia juga merekomendasikan orang lain untuk belajar dengan saya,” katanya.

Dari situ juga Irene mendapatkan honor lumayan dan menjadi modal untuk melakukan perjalanan ke Thailand. “Jadi ini bukan sekadar nginep gratis tapi pertukaran budaya, bahasa, interaksi sosial, persahabatan, hospitality dan lain-lain.”

Hal seperti inilah yang menjadi daya tarik orang-orang di seluruh dunia untuk menjelajahi tempat-tempat yang belum mereka kenal sebelumnya. Di tempat manapun, mereka seolah tidak asing karena ada orang-orang yang siap menerima mereka seperti di rumah sendiri.

“Ada yang enak, ada juga yang enggak enak. Yang enggak enak ya karena kebiasaannya yang berbeda dengan kita,” demikian cerita Dhania Larasati Barus, mahasiswi Manajemen UNS yang juga anggota Couchsurfing, Minggu (6/5) lalu.

Mahasiswi asal Medan ini memang senang jalan-jalan. Pada liburan semesteran, Januari lalu, dia memenuhi hasratnya melakukan perjalanan panjang ke Jawa Timur. Memang tidak terlalu jauh tapi itu membuatnya sangat terkesan hingga hari ini.

“Biasanya kita harus mikir kuliah, jadi kalau libur harus dimanfaatkan,” katanya.

Ini adalah pengalamannya yang pertama naik angkutan darat sendirian di Jawa. Dia sempat deg-degan saat turun ke Terminal Bungurasih, Surabaya untuk kali pertama. Beruntung dia akhirnya menemukan alamat para anggota Couchsurfing yang siap menerimanya. Sambutannya sangat baik dan dia mendapat pengalaman baru.

Karena baru pertama, dia sempat kaget juga ketika ada seorang tuan rumah yang ternyata perempuan perokok. Demikian pula saat dia harus tinggal di rumah seseorang yang punya suami bule. Perbedaan budaya sekaligus pengalaman pertama sempat membuatnya merasa aneh.

“Suatu kali saya sempat diajak ke Pantai Kenjeran, di sana kaget juga melihat banyak orang pacaran. Bahkan saya sempat diajak melihat Doli tapi untungnya enggak jadi.”



Pergaulan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya juga sempat membuatnya jadi objek pertanyaan. Muncullah keterbukaan antara Dhania yang selalu berkerudung dengan orang-orang asing yang sempat menganggapnya aneh. Misalnya saat mengunjungi Bromo, seorang turis asal Nebraska, AS, bertanya tentang pakaiannya yang tertutup.

“Teman saya juga balik tanya apa cewek bule itu selalu enggak virgin. Ya kami memang saling terbuka aja,” akunya.

Di sela-sela pergaulannya itulah Dhania menempatkan dirinya sebagai promotor kota asalnya. Sambil membawa suvenir khas Solo, dia pun memperkenalkan Solo kepada siapa pun yang dikenalnya di berbagai tempat. “Ibaratnya saya ini seperti Putri Pariwisata Solo tapi tidak digaji,” katanya tersenyum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya