Lifestyle
Sabtu, 21 Oktober 2023 - 13:24 WIB

Ulang Tahun Sophia

Nuzul Ilmiawan  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Ulang Tahun Shopia (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Hari ini adalah hari yang indah. Pagi disambut seruan matahari yang muncul dari timur, memancarkan Bumi dengan percikan kebahagiaannya melalui cahaya kuning yang membakar rumput-rumput dan daun-daun pohon. Musim panas telah tiba. Burung-burung gereja berkicau di dahan pohon sikamur yang sekarang tumbuh menjadi sebatang pohon yang sangat kokoh, hanya daun-daunnya yang berguguran saat angin topan menerjang Oklahoma dua bulan lalu.

Sophia berulang tahun yang kesepuluh pada hari ini. Dan saya hendak membawakannya sebuah hadiah. Karena saya tidak pandai memilih hadiah, maka saya menghubungi mantan istri saya. Saya menunggu agak lama, agaknya ia belum bangun. Atau boleh jadi dia sedang menikmati seks sebelum memulai hari dengan suami barunya yang lebih muda itu. Tapi, ketika dia mengangkat telepon, suaranya serak; tampaknya dia memang baru bangun.

Advertisement

Tanpa membuang waktunya, saya langsung menodongnya dengan pertanyaan mengenai hadiah apa yang cocok untuk putri kami. Katanya dia juga belum membeli hadiah, malah dia juga bingung. Saya ikut bertambah bingung. Tatkala saya mendengar Clark, suami barunya itu, melenguh di belakang telepon, saya langsung memutuskan panggilan. Sebelumnya dia sempat menanyakan keadaan saya. Saya tidak suka bila dia menanyai itu. Perempuan itu menceraikan saya karena dia mengira saya ini sudah gila. Maka saya pun dengan senang hati setuju dengan perceraian itu.

Lagipula memang benar bahwa pernikahan itu adalah malapetaka. Saya tidak berbicara hal buruk tentang mantan istri saya, melainkan hanya ingin mempertegas bahwa cinta kehilangan estetikanya ketika dua manusia telah masuk ke jenjang pernikahan. Dan mungkin satu-satunya kegagalan terbesar manusia adalah dengan tidak memahami bahwa pernikahan hanya bertujuan memenuhi syarat politis. Cinta sudah kehilangan estetika dan substansinya ketika rasa saling percaya itu tertuang di atas kertas putih.

Setelah melakukan meditasi hampir satu jam di belakang rumah, saya buru-buru mengambil sarapan di kedai kopi Frank. Dua potong roti, tiga helai daging babi asap, omelet, dan kopi. Pesanan saya diantar seorang gadis bernama Cecilia. Dia tersenyum begitu pun saya. Dengan bersemangat saya bilang padanya bahwa hari ini adalah hari yang spesial karena anak saya ulang tahun. Dia ikut bergembira mendengarnya.

Makanan itu saya cicipi sambil memandang jalanan yang bersemangat pagi ini. Agak sedikit lengang dan orang-orang tidak terlihat tergesa-gesa. Saya melihat seorang pria pengantar koran berkeliling dengan senyuman di wajahnya. Ada beberapa wanita paruh baya mengayuh sepeda dengan keranjang bunga di depannya bagai aktor dalam sebuah musik video musim panas.

Sebuah truk sedang mengantarkan botol susu untuk kedai Frank. Dan di seberangnya, saya melihat sebuah toko bunga. Pemiliknya seorang wanita muda. Dia baru saja membalikkan papan di pintu kaca sebagai pertanda tokonya telah dibuka.

Wanita itu senang sekali menyirami bunga-bunga kecil yang bergelantungan di etalase toko. Matanya benar-benar fokus pada setiap jengkal tanah di pot, seakan tak ingin ada bagian yang terlewatkan. Seperti sedang mematikan bara api di perkemahan, setiap pagi ia tak pernah melewatkan kegiatan itu. Saya tak tahu itu bunga apa, tampaknya begitu berarti untuknya. Sama halnya dia tidak tahu bahwa saya juga bergembira pada hari ini karena anak saya berulang tahun.

Saya kemudian memperhatikan foto-foto Sophia di album telepon saya. Foto-foto itu selalu berhasil membuat saya tersenyum sehingga sarapan saya kian bertambah nikmat karena kehadirannya.

Advertisement

Setelahnya saya bergegas mengendarai mobil sambil menyetel lagu-lagu The Beach Boys, malah roda empat ini serasa melaju dengan sendirinya ke tempat yang saya inginkan, yaitu sekolah. Saya harus mengajar sampai pukul satu. Barulah setelahnya saya mencari hadiah untuk Sophia.

Sepanjang jalan menuju kelas di lantai kedua, saya menyapa setiap mata yang saya tangkap. Beberapa anak yang mengenal saya mengucapkan selamat pagi. Saya juga membalasnya dengan senyuman dan ucapan kebahagiaan itu. Saking bersemangatnya, saya tak sengaja menabrak bahu seorang anak laki-laki. Dia meminta maaf lantas saya bilang bahwa itu adalah kesalahan saya dan sayalah yang akhirnya meminta maaf padanya. Kami berdua tersenyum dan melanjutkan langkah kami.

Sesampainya di kelas, saya menyambut siswa-siswa saya dengan sepenuh hati. Saya berharap kebahagiaan yang saya punya juga dapat membuat mereka bersemangat menerima materi yang akan saya sampaikan.

Sebelum mengajar, saya sedikit bercerita kepada mereka tentang anak saya yang berulang tahun hari ini. Mereka menyimaknya dengan baik. Saya bilang bahwa Sophia hari ini seumuran dengan anak-anak itu. Dan tentunya mereka akan dengan sangat senang berteman dengan Sophia karena anak itu benar-benar lucu dan pintar.

Saat jam istirahat, saya bertanya kepada guru-guru lain tentang hadiah untuk Sophia. Mereka malah tampak bingung dan cemas. Namun saya tak hirau, menurut saya itu wajar. Kemudian mereka mengajak saya ngobrol, tapi saya tidak mau.

Saya mengambil jus jeruk dan diam-diam mengisap sebatang rokok di gudang gedung olahraga. Saya mencampurkan sedikit vodka ke jus jeruk itu, yang saya yakin akan membuat saya tambah bersemangat dan percaya diri.

Saya pikir, saya mengajar dengan sangat mantap pada hari ini. Semua anak mudah mencerna materi yang saya sampaikan. Kemudian sebelum pulang, saya singgah sebentar ke ruang guru untuk berpamitan dengan yang lain. Lekas saya mengendarai mobil melintasi Oak Boulevard yang sedikit ramai. Lalu berbelok ke kiri ke arah Elm Avenue dan dari sana saya cukup lurus terus hingga sampai ke pusat kota.

Advertisement

Saya berhenti di depan sebuah butik. Tapi, saya hanya numpang parkir di sana, selebihnya saya cukup berjalan kaki untuk melihat-lihat barang apa yang cocok dijadikan hadiah.

Saya berjalan di antara orang-orang di trotoar. Siang itu udaranya cukup hangat. Langit terlihat bagai samudera tanpa awan. Sepanjang jalan saya menemukan orang-orang berpakaian minimalis dan banyak toko menarik yang agaknya harus saya masuki satu per satu.

Toko pertama adalah bakery. Di sana ada seorang wanita yang menyambut kedatangan saya. Saya katakan bahwa saya hendak memesan kue ulang tahun untuk anak saya dan wanita itu bilang bahwa pesanan saya akan selesai dalam 30 menit. Saya menunggu di luar.

Saya bersandar di dinding toko sambil membakar sebatang rokok. Saya memperhatikan foto-foto Sophia kecil. Dia menaiki trampolin seraya memegang bola karet, dengan sangat bangga menunjukkan gigi ompongnya. Kemudian di foto yang lain, Sophia kecil menaiki sepeda roda tiga. Roda-roda pembantu itu sebenarnya takkan membuatnya terjatuh, tapi di foto itu ia seakan tak ingin saya melepaskan pegangannya. Gadis kecil itu memang menggemaskan sekali.

Kembali saya melihat foto Sophia yang menjadi foto favorit saya. Saat itu ia masih di rumah sakit. Tubuh mungilnya sedang terlelap tenang di dalam inkubator. Saya sangat senang gadis itu sangat tak sabar melihat dunia yang begitu indah ini. Entahlah, saya masih begitu ingat aroma surga yang melekat di tubuhnya saat itu. Tiba-tiba saya jadi menangis. Saya malu saat orang-orang yang lalu-lalang melihat saya dengan terheran yang lantas saya balas dengan senyuman sambil menunjukkan foto Sophia. Air mata saya masih berbondong-bondong bercucuran.

Setelah pesanan saya selesai, saya kembali berjalan ke barat. Di sana saya menemukan toko mainan. Saat saya masuk, lonceng pintu berbunyi, dan saya tersenyum. Seandainya Sophia di sini, dia akan keluar-masuk berkali-kali untuk membunyikan bel itu kembali. Dia sangat senang musik. Dulu saya pernah membelikannya kalimba yang hampir setiap hari ia mainkan. Terutama di hari menjelang Natal, ia akan membangunkan saya dengan kalimbanya itu setiap hari.

Saat melihat mainan-mainan berjejer di lemari. Saya teringat bahwa Sophia pernah bilang kalau ia ingin punya toko mainan. Saya tertawa. Kemudian saya teringat lagi bahwa Sophia amat gemar bermain di trampolin. Oleh sebab itu, ketika dia menginjak umur delapan, Sophia menjadi yang paling tinggi di kelasnya, mengalahkan anak laki-laki.

Advertisement

Suatu hari dia menangis saat mengetahui trampolinnya rusak akibat tertiup angin topan. Maka muncul ide di kepala saya untuk membelikannya trampolin yang baru. Langsung saya mencari dan memilih ukuran trampolin yang pas untuknya.

Di mobil, sebelum saya mengunjungi Sophia, saya kembali memeriksa. Mungkin ada yang terlewatkan, tapi syukurnya semua sudah lengkap. Ulang tahun yang sempurna meski tidak ada perayaan. Saya yakin dia tetap akan sangat senang.

Saat saya sampai ke tempat Sophia, hari sudah menjadi sore. Saya melihat mantan istri saya dan suami barunya sudah sampai di sana. Saya memanggil mereka berdua sambil menunjukkan barang yang saya bawa. Mereka tersenyum kaku.

Saya tahu pasti, jam segini Sophia masih tertidur di pembaringannya. Maka saya meminta mereka tidak berkata apa-apa dengan mengancungkan telunjuk saya ke depan bibir. Saya berjalan perlahan menghampiri mereka, sedikit berjinjit dan tak ingin menggaduh.

Saya kemudian meletakkan kado berisikan trampolin ke tanah dan mengarahkan mereka untuk duduk di bangku panjang. Di sana kami menunggu Sophia bangun. Sesekali saya mengecek bungkusan kue dan senang sekali saat melihat nama Sophia ditulis dengan benar dan cantik dengan warna merah jambu, warna favoritnya.

Angin terus bertiup sampai sesekali membuat beberapa daun jatuh dari pohon. Langit senja sebentar lagi akan tenggelam dan mengantarkan kami kepada malam. Namun, Sophia belum juga tersadar dari alam mimpinya. Alina sudah menjatuhkan air matanya, saya tidak tahu apa yang ia tangisi. Untung ada Clark yang mengelus-elus punggungya. Saya hanya diam, menantikan Sophia bangun. Saya bilang padanya bahwa saya akan marah apabila Sophia membuat ibunya menangis.

Namun, gadis itu tidak mendengar seperti langit yang diam-diam berubah oranye. Kembali saya coba membangunkannya. Tapi ia tak juga kunjung bangun. Lantas saya yang kesal ini mencampakkan kotak kue ke tanah. Kue yang berserakan membuat Alina kian bertambah tangisnya.

Advertisement

Saya meneriaki Sophia, seandainya ia tidak juga bangun, maka saya akan pulang dan tak akan mendatanginya lagi. Namun, Sophia juga tak membalas, maka saya mengambil trampolin itu dan meninggalkan Sophia, Alina, dan suaminya yang wajahnya serupa pantat sapi itu.

Sepanjang perjalanan pulang, saya dirasuki kekesalan yang memuncak. Rasanya kepala saya begitu penuh dan di dada saya seperti ada perasaan yang mengganjal, yang sangat ingin saya muntahkan. Saya jadi tak karuan hingga kehilangan fokus kepada jalan yang sedikit ramai.

Saya hampir menabrak skuter seorang pengantar pizza. Saya mengacungkan jari tengah dan memakinya. Belum lagi jalanan macet sepanjang Elm Avenue karena di depannya ada seorang ibu yang menabrakkan mobilnya ke tiang listrik. Jantung saya berdebar cepat, kepala saya memerah hendak marah, maka saya mengklakson cukup kuat.

Saya mengumpat dari dalam mobil kepada polisi-polisi yang tidak becus membereskan lalu lintas. Karena klakson saya itu, pengemudi di depan meneriaki saya. Saya meneriakinya balik. Lantas orang itu keluar dari kendaraannya, seorang laki-laki bertubuh kekar, membentangkan kedua tangannya. Dia pikir saya takut, saya acungi dia jari tengah, yang membuatnya berjalan menghampiri mobil saya. Langsung saya keluar dan meninju wajahnya.

Malam sudah jatuh sesampainya saya di rumah. Saya letakkan bungkus kado di pojokan bersama bungkusan-bungkusan Natal Desember lalu. Kemudian saya menuju kamar mandi dengan sedikit linglung. Saya lihat diri saya di seberang cermin itu, ada sebuah roman yang sangat mengerikan. Seakan saya tidak percaya saya jadi begitu busuk dan menjengkelkan. Namun, roman itu tersenyum juga, meskipun tak dapat dibohongi oleh luka memar dan bengkak di pipi yang membuat senyum itu menjadi amat menyebalkan. Giginya patah, hidungnya juga menyisakan cairan darah yang mengering.

Sosok di seberang cermin itu meludah ke wastafel dan yang keluar adalah darah. Namun di belakang sosok yang menyedihkan itu, di seberang cermin itu, saya tiba-tiba melihat Sophia sedang berdiri memeluk boneka. Dia tersenyum dengan giginya yang baru tumbuh, membuat saya ikut tersenyum. Sekonyong-konyong pipi saya menjadi hangat oleh tetesan air mata. Bibir saya yang berdarah sempat mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Meskipun segala artinya menjadi tidak ada karena gadis itu telanjur pergi ke dunia yang tak bisa saya jangkau.

Rumah ini kembali menyisakan ruang-ruang kosong dan hati yang terluka oleh waktu yang tak pernah kembali. Roman di seberang cermin itu menangis pilu. Lantas tiba-tiba saya memikirkan tentang pohon sikamur itu, yang saya berharap tercerabut dari akarnya oleh tornado yang suatu saat pasti akan kembali menghujam Oklahoma. Begitupun kota dan seluruh isi-isinya.

Advertisement

 

Nuzul Ilmiawan, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireun, 19 Oktober 2001.

 

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif