SOLOPOS.COM - Umbul Nogo, Wonogiri (Ayu A/JIBI/SOLOPOS)

Umbul Nogo, Wonogiri (Ayu A/JIBI/SOLOPOS)

Umbul Nogo terletak di Desa Karanglor, Kecamatan Manyaran menjadi salah satu tujuan wisata bagi warga Wonogiri dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pasalnya, objek wisata itu berada di dekat jalan alternatif Wonogiri-DIY di bagian selatan.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Apabila ditempuh dengan sepeda motor, jarak dari Wonogiri Kota sekitar 30 kilometer atau sekitar satu jam perjalanan. Ketika saya berkunjung di objek wisata itu belum lama ini, pemandangan kali pertama yang saya lihat adalah sejumlah pohon beringin yang tingginya hingga ribuan meter. Tak heran jika di lokasi itu terdapat sumber air yang melimpah dengan suasana yang teduh.

Lokasi itu memiliki luas sekitar dua hektare yang terdapat tiga kolam. Kolam yang letaknya paling atas merupakan umbul atau sumber air utama. Sedangkan di bagian bawah terdapat dua kolam, salah satunya untuk pembenihan ikan air tawar dan kolam lainnya merupakan pecahan sumber air di Umbul Nogo.

Saat melihat umbul utama yang hampir mirip kolam ikan, terkesan kurang terawat. Ada beberapa sampah plastik yang mengambang di air. Di permukaan airnya juga banyak terdapat tanaman air yang hampir memenuhi separuh umbul. Saat itu, saya melihat beberapa warga dan anak-anak tengah memancing di umbul tersebut.

Sedangkan di kolam bagian bawah yang merupakan pecahan sumber air dari umbul utama, terdapat hewan langka yang disebut masyarakat setempat sebagai Gateng atau Sidat. Hewan itu berbentuk seperti belut, tetapi bertaring dan memiliki sirip seperti ikan lele. Setiap bulan, ikan betina menstruasi layaknya seorang perempuan sehingga saat itu air tempat mereka hidup berubah menjadi merah.

“Jumlahnya ribuan. Kami tidak tahu asalnya dari mana. Hewan itu bisa hidup di darat dan air. Warga sekitar tidak ada yang berani mengambil ikan tersebut, bahkan memakannya. Mereka masih percaya jika ikan itu diambil dari habitatnya, maka akan terjadi sesuatu pada desa mereka,” kata Kades Karanglor, Eko Santoso, saat ditemui Solopos.com  di kediamannya, belum lama ini.

Menurut Eko, umbul utama memang sengaja tidak digunakan mandi atau hal lainnya. Pasalnya, sumber air itu dimanfaatkan warga untuk air minum dengan pengelolaan seperti PDAM. “Bukan masalah sakral. Kami memang sengaja membuat steril, karena sumber air itu untuk memenuhi kebutuhan air bagi warga di sekitarnya. Debitnya cukup besar yakni sekitar 15 liter/detik dan mampu memenuhi sekitar 800 rumah,” imbuhnya.

Di sisi lain, Umbul Nogo memiliki sejarah tersendiri. Seorang warga desa setempat yang juga Kepala Urusan Keuangan Desa Karanglor, Saryanto, bercerita Umbul Nogo masih memiliki keterkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno.

Singkat cerita, zaman dahulu Raja Mataram Kuno memiliki seorang anak bernama Raden Pekik yang buta. Tiba-tiba ia mendapat petunjuk berupa bisikan hanya Kyai Sidik Wacono di Dlepih, Kahyangan, Tirtomoyo yang bisa menyembuhkan penglihatan anaknya.

Raden Pekik bersama dua orang abdi dalem kerajaan yakni Ki Jebres dan Ki Merkak kemudian berangkat mencari orang tersebut. Akhirnya ia bisa disembuhkan dari kebutaannya. Saat hendak kembali ke kerajaannya melalui perjalanan ke barat, ia menaiki seekor gajah. Saat kelelahan di perjalanan, mereka beristirahat sejenak untuk melepas lelah.

“Saat itu, Raden Pekik tiba-tiba melihat cahaya yang mengarah ke utara dan ia pun mengikutinya hingga ia melihat sebuah kerajaan dan bertemu dengan Putri Kencono. Putri itu dikisahkan berparas sangat cantik. Mereka berdua masuk dalam kerajaan itu, tetapi kedua abdi dalem tidak ikut masuk dan menunggu di luar pintu kerajaan,” katanya.

Hingga akhirnya, kedua abdi dalem itu kelaparan dan tertidur karena terlalu lama menunggu Raden Pekik. Mereka tiba-tiba terbangun karena suara misterius dari arah utara. Mereka lalu bertemu dengan seorang pasangan suami istri yang lanjut usia bernama Ki Makarang dan Nyi Makarang. Para abdi dalem tersebut meminta makanan, tetapi kedua orang tua itu malah memberi sebuah kelapa muda.

Saat kelapa muda itu dibawa kembali ke tempat mereka menunggu Raden Pekik, tiba-tiba mereka teringat payung yang masih tertinggal di rumah Kyai Sidik Wacono. Kelapa muda itu mereka pendam di dalam tanah yang ditumbuhi semak-semak dan mereka ingin mencari payung yang tertinggal tetepi tidak ketemu. Mereka akhirnya kembali untuk menunggu Raden Pekik dan mencari kelapa muda yang sebelumnya dipendam dengan kayu untuk ditancapkan ke semak-semak.

Secara tidak sengaja, kayu itu malah menancap ke kelapa muda tersebut dan akhirnya keluar air yang tidak bisa berhenti hingga akhirnya menggenangi pekarangan Ki Makarang. Kedua abdi dalem itu disarankan untuk menghentikan dengan mengorbankan seekor kambing, sebuah ijuk dan dandang tembaga.

Di lain tempat yang tak jauh dari lokasi itu, hewan tunggangan Raden Pekik yang merupakan seekor gajah juga marah karena menunggu terlalu lama. Gajah tersebut berusaha membuka pintu kerajaan dan berperang dengan hewan peliharaan Putri Kencono yang berbentuk ular naga. Kedua hewan itu tidak ada yang menang atau kalah, bahkan tubuh keduanya hancur. Salah satunya kepala gajah dan naga yang ada di lokasi peperangan yang kini menjadi di Umbul Nogo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya