SOLOPOS.COM - HAMPIR JADI DOKTER--YB Soemarwoto, bersama wayang kulit buatannya, Minggu (29/4). Meski sempat kuliah di kedokteran, Soemarwoto memilih untuk meneruskan bakiat ayahnya, mrmbuat wayang kulit. (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

HAMPIR JADI DOKTER--YB Soemarwoto, bersama wayang kulit buatannya, Minggu (29/4). Meski sempat kuliah di kedokteran, Soemarwoto memilih untuk meneruskan bakiat ayahnya, mrmbuat wayang kulit. (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

Dari awal Margono memang sudah mewarisi bakat menjadi pembuat wayang. Berawal dari lingkungan keluarga dan kampungnya yang hampir semuanya hidup dari wayang, laki-laki asal Manyaran, Wonogiri ini membawa budaya wayang itu ke Solo.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Ayahnya, Margono, adalah seorang dalang yang sekaligus membuat wayang. Tidak heran jika Margono sudah mulai membuat wayang sejak masih duduk di bangku SD. Dia memang tidak meneruskan profesi ayahnya sebagai dalang, namun memelihara tradisi kerajinan wayang hingga kini.

“Lulus SMP, saya melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa (sekarang SMK N 9 Solo). Waktu itu saya sudah bikin untuk pesanan wayang,” kenangnya.

Saat kuliah di Pedalangan STSI Solo, Margono terus mempertahankan kebiasaannya membuat wayang. Awalnya dia menerima pesanan wayang satu persatu. Dari mulut ke mulut, akhirnya kemampuannya terendus oleh para mahasiswa saat itu. Pelan-pelan, kemampuannya itu juga terdengar oleh para dosen yang akhirnya banyak memesan wayang kepadanya.

Mulai 2006 dia telah menekuni usahanya dengan serius, khususnya setelah dia mengurus SIUP ke Pemkot Solo. Usahanya pun berkembang setelah dia terus mengikuti berbagai pameran. Tak mungkin melakukan semuanya dengan tangan sendiri, Margono memanfaatkan potensi sumber daya manusia yang ada di kampung asalnya. Dia membawa enam orang untuk bekerja bersamanya di sanggarnya, Kentingan, Jebres.

“Di sini memang hanya enam orang, tapi sebagian besar dikerjakan di Wonogiri. Kalau ditotal, jumlahnya bisa sampai 60 orang,” katanya.

Di sana, sumber daya manusia pembuat wayang memang melimpah. Mereka memiliki bakat alami menatah kulit kerbau sekaligus mewarnainya. Kebanyakan dari mereka mengerjakan wayang-wayang itu di rumah masing-masing. Hasil tatahan wayang itu kemudian di bawa ke Solo untuk menjalani finishing.

Begitu pula dengan YB Soemarwoto. Meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan seni, ayahnya adalah seorang perajin wayang kulit. Dia meneruskan usaha ayahnya, namun dalam bentuk yang sama sekali baru.

“Dulu saya sempat kuliah di Kedokteran PTPN Veteran yang kini jadi FK UNS, tapi DO,” kenangnya.

Keluar dari kuliah, Soemarwoto pergi merantau ke Jakarta untuk menjalani berbagai pekerjaan. Baru setelah melihat ke Taman Mini Indonesia Indah dia melihat ada pasar seni yang ramai. Salah satunya adalah wayang kulit yang belum banyak supliernya.

Sadar ada peluang baru, Soemarwoto pulang ke kampungnya. Dengan bakatnya menggambar sejak dulu, dia mulai mengembangkan produksi wayang kulitnya hingga kini.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya