SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Penyesalan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Setelah enam bulan, kini aku bertamu lagi ke Yogyakarta. Sekarang bukan demi bertemu gadis itu, menginap di sekitaran Pasar Kembang, dan menempuh malam secara teler, bukan. Aku bertamu hanya untuk wisuda.

Diam-diam karena gadis itulah untuk kali pertamanya aku bertamu ke Jogja lewat pintu Lempuyangan. Sebab aku tahu jika melalui Tugu dia bakal menemukanku. Meski aku tak pernah mengabarinya soal kedatanganku ke Jogja, dia selalu tahu. Entah bagaimana, dia selalu bercanda menjawabnya.

Promosi BRI Bantu Usaha Kue Kering di Sidoarjo Berkembang Kian Pesat saat Lebaran

“Kamu terlalu mudah ditebak, untuk apa bertukar nomor HP!” Begitulah dia memberikan jawaban ketika aku coba meminta nomor kontaknya. Sejak itu, aku tidak lagi tertarik atau berani untuk bicara soal bertukar alamat media sosial.

Dan benar, selama dua tahun aku menempuh magister, dia selalu tahu ketika aku bertamu ke Jogja. Termasuk enam bulan lalu, ketika aku hendak ujian tesis.

Aku tak pernah tahu dari mana dia datang. Apalagi kondisi semua stasiun di Jogja bahkan sampai sekarang, penggunaan masker masih disiplin. Tiba-tiba saja dia mengagetkanku yang repot dengan aneka bawaan. Kulihat rambutnya dipotong jadi hanya sebahu, menurutku lebih manis. Tidak, sejujurnya dia lebih cantik seperti itu. Malam itulah kali terakhir aku kalah kuat menenggak minuman dengannya.

Aku sering berpikir dia tahu segala tentangku, tentang keluargaku, tentang aktivitasku di Garut, adalah dari anggota keluargaku yang gemar membikin status tentang apa saja. Termasuk status yang mereka buat di berbagai akun media sosial setiap kali aku bertamu ke Jogja. Seperti saat ini, meski kereta segera sampai, rombongan keluargaku yang hampir setengah gerbong ini, semuanya seolah diberi tugas untuk membuat status media sosial. Tak terkecuali kakek dan nenek.

Apa mungkin dia juga bakal tahu kali ini aku bertamu lewat pintu Lempuyangan? O, aku cukup tegang. Tapi mungkin juga dia sudah melupakanku. Semoga.
Sepupu-sepupuku yang kecil, yang baru pertama ke Jogja jadi heboh saat kereta mulai melambat, memasuki Stasiun Tugu Jogja. Mereka kira akan berhenti di sana. Aku segera menelisik dengan cemas area kanan kereta, berharap tak pernah melihatnya.

Aku tahu kelakuannya agar bisa masuk stasiun hanya untuk mengagetkanku. Dia akan membeli tiket kareta lokal seharga delapan ribu rupiah demi bisa masuk peron stasiun. Katanya, “Pengorbanan delapan ribu rupiah itu terlalu murah dibanding kepuasan membuatmu kaget.” Setelahnya dia tertawa puas sekali, begitu menawan dan tak ketinggalan mengejekku yang katanya terlihat mudah ditipu.

Pelanggan yang kami hormati, sesaat lagi kita akan tiba di Stasiun, Lempuyangan…

Bel dan pengumuman bersuara perempuan itu di mana saja bagiku adalah suasana Jogja. Keluargaku sibuk membereskan dan mengamankan barang bawaan masing-masing. Semua orang berjuang sebab kami berdesakan untuk bisa keluar dari kereta.

Langkah pertamaku keluar kereta hampir tersandung. Kemungkinan soal bertemu dirinya sukses merontokkan kedamaianku malam ini. Diam-diam ternyata aku takut dia menemukanku dan nanti jadi bahan pertanyaan semua anggota keluarga yang sering menggoda untuk segera menikah atau lebih dari itu.

Aku terjebak bukan oleh kerumunan manusia. Tapi aku tak tenang antara harus siaga menemukannya terlebih dahulu atau berjalan saja menembus kerumunan tanpa peduli seperti biasanya.

Sesampainya di hotel, aku masih tidak merasa bebas dari bayang-bayang tentangnya. Mengapa aku tak mau bertemu dengannya, tapi juga aku tak mau ditinggalkan dan dilupakannya begitu saja. Apakah ini yang disebut rindu? Atau hanya keegoisanku sebagai seorang laki-laki?

Aku tak bisa lagi menahan diri untuk kemudian mencarinya di dunia maya. Tapi, sejenak aku tersadar tentang namanya yang ternyata muncul terlalu banyak. Jika aku tambah nama panjangnya, tidak ada foto yang sekadar mirip dirinya. Bodohnya aku. Entah nama itu asli namanya atau namanya di media sosial yang menggunakan nama lain, ternyata aku tak pernah tahu selama ini.

Pagi menjelang dan aku benar-benar tidak tidur akibat terhanyut dalam pencarian sia-sia di lautan media sosial. Sejak dua mobil rental keluargaku berangkat dari hotel ke tempat wisuda, sejak itu pula setiap orang, apalagi perempuan yang terlihat di pinggir jalan, pasti kuselidik. Diam-diam kali ini aku ternyata berharap melihatnya walau sepintas lalu.

Baca Juga: Tompangan 

Berbeda halnya ketika aku sampai di gedung tempat wisuda. Perasaan takut kini menguasaiku lagi. Takut jika saja dia memberikan kejutan di depan ayah-ibu atau seluruh keluargaku yang setia menunggu di tempat berfoto.

Atau bagaimana jika dia sebenarnya juga calon wisudawan-wisudawati di kampus ini. Aku tidak mengerti, segala hal seolah menjadi mungkin jika aku memikirkannya. Seperti saat kali pertama aku mencarinya.

Waktu itu, dua tahun lalu, untuk kali pertama aku menginjakkan kaki di Jogja. Sebabnya, aku bertengkar dengan ayah-ibu soal mengambil jurusan kuliah magister.

Atas dasar sejarah keluarga, mereka ingin jurusan magisterku adalah keagamaan seperti kakak perempuanku. Tapi, aku tak sebaik kakak. Apalagi jika aku mengambil jurusan agama, pasti akan disuruh mengisi pengajian seperti aktivitas ayah selama ini.

Kata ayah, perempuan seperti kakakku tidak bisa mengisi pengajian umum. Sedangkan aku lebih suka main game atau menunggu ruko di pasar dibanding menghadiri acara pengajian seperti kakak.

Walhasil, keluargaku terobati dengan pilihan Kota Jogja sebagai tempat melanjutkan kuliah meski aku mengambil jurusan bisnis, linier dengan sarjana. Sejarah keluargaku cukup dekat dengan Jogja. Ayah dan kakek sering cerita dulu K.H. Ahmad Dahlan pernah datang dan menginap di sini, di Kampung Lio, Garut.

Aku tidak begitu mengerti apa hubungan kakek dan K.H. Jamhari yang berhasil mengundang K.H. Ahmad Dahlan yang terkenal itu. Tapi demikian, organisasi bentukan K.H. Ahmad Dahlan, berhasil menyebar ke tanah Jawa Barat melalui kampungku.

Beserta restu yang menggebu dari keluarga, aku sampai di Jogja untuk kali pertama, lengkap dengan kenakalanku sejak kuliah di Bandung. Karena kuliah masih daring, hampir setiap hari aku keluyuran ke tempat-tempat yang menurut teman-teman baruku menarik.

Satu yang paling kudahulukan adalah Pasar Kembang. Saat kususuri gang-gang itu, aku tidak menemukan hal-hal seperti dalam cerita teman-temanku. Di sana hanya ada rumah-rumah dan penginapan yang memutar musik serta orang-orang yang nongkrong dan ngobrol dengan damainya. Malah aku menemukan madrasah dan masjid yang selalu ramai dikunjungi orang ketika waktu salat tiba.

Pencarian itu membuat sedikit kecewa sehingga aku nongkrong saja di Malioboro. Ketika asyik merokok, seorang perempuan datang menghampiriku, meminjam korek.

***

Sejak itu, setiap Minggu, aku akan menginap dan kadang teler bersamanya di penginapan-penginapan murah meriah. Begitulah, seperti sudah bisa saling menebak, jika ingin saling bertemu, dia akan datang ke kampus atau kos tempatku tinggal. Dan untuk menemuinya aku hanya harus ke Malioboro, ke mal tempatnya kerja, atau ke kos tempatnya tinggal.

Aku ingat sekali, ketika pertama menciumnya dan dia pun menciumku. Tiba-tiba napasnya tersengal-sengal hebat. Aku panik sekali dibuatnya.

“Aku telepon ambulans?!” kataku. Namun, dia masih sempat mengejekku. “Bodoh, aku hanya asma, ambilkan inheler di tasku,” suaranya megap-megap.

Malam itu, aku hanya memeluknya sampai Subuh tiba. Aku terus berselimut perasaan takut kalau dia meninggal ketika bersamaku. Bermodalkan kejadian itulah, dia selalu berhasil mengejekku.

Mengingat semua itu, saat ini aku merasa lega. Sebentar lagi kereta akan datang dan membawaku pulang meski berpamitan dengan cara kurang sopan setelah bertamu ke Jogja. Mungkin benar ucapannya enam bulan lalu, “Mas, setelah kamu lulus kita harus saling melupakan.”

“Tapi jika bertemu, kita tetap menyapa,” kataku sembari membereskan baju.



“Aku pasti tahu jika kamu bertamu ke Jogja, Mas. Tapi nanti akan malas mengagetkanmu di stasiun,” tawanya mengejekku.

Perhatian dari jalur tiga, segera masuk dari arah Timur Kereta Api, Pasundan…

Keretaku sudah datang. Semua anggota keluargaku berarak menuju jalur ketiga. Orang-orang yang duduk di ruang tunggu stasiun serentak bangkit mengikuti rombongan keluargaku yang ribet dengan bawaan. Namun, aku masih saja sulit bangkit dari kursi tunggu ini.

Seorang perempuan justru duduk di sampingku, memegang tanganku segera. Aku yakin itu pasti dia. Aku hampir ketinggalan kereta akibat sekian lama melihat perutnya yang buncit.

“Kamu hamil?” Aku terus menatap perut yang diusap-usap halus tangannya. Tapi, dia hanya diam, tidak mengejekku seperti biasanya. Kupegang tangannya erat sekali. Aku tak berani lagi melihat wajahnya. Kereta mulai bergerak perlahan. Aku berlari kemudian, mengejar kereta dengan perasaan runtuh padahal baru diwisuda. Penyesalan yang rasanya sampai mati.

 

Yogyakarta-Garut, dalam Kereta Pasundan
November 2022

Atropal Asparina, lahir (1993) dan tinggal di Garut. Perintis sekaligus pengajar SMK Plus Pesantren Muhammadiyah Tarkid, Garut. Pernah memenangi lomba Menulis Opini & Narasinema Republika (2020), lomba Guru Menulis Republika (2021), dan BPKH Writing Competition Republika (2021).







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya