SOLOPOS.COM - Ilustrasi cuaca panas. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO-BMKG Sebagian besar wilayah Indonesia masih dilanda suhu panas ekstrem, lalu apakah penyebab fenomena ini? Kondisi ini diprediksi masih akan berlangsung hingga akhir Oktober 2023.

Berdasarkan data klimatologis sepanjang 1991 hingga 2021, rata-rata suhu maksimum di sejumlah kota besar Indonesia yang secara geografis terletak di selatan ekuator mencapai nilai tertinggi pada September dan Oktober.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Menurut hasil pengamatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), suhu maksimum terukur selama September 2023 di beberapa wilayah mencapai kisaran antara 35,4 hingga 38 derajat Celcius pada siang hari. Lantas, apa penyebab cuaca panas terik di Indonesia?

Mengutip dari unggahan akun Instagram resmi BMKG @infobmkg, salah satu penyebab suhu panas ekstrem di Indonesia adalah minimnya tingkat pertumbuhan awan, terutama pada siang hari. Selain itu, tingkat kelembapan udara di sejumlah wilayah pun tergolong rendah.

“Posisi semu matahari menunjukkan pergerakan ke arah selatan ekuator yang berdampak ke penyinaran matahari yang relatif lebih intens ke wilayah Indonesia,” tulis BMKG dikutip Selasa (17/10/2023).

Setelah tahu penyebab suhu panas ekstrem di Indonesia, menurut prediksi BMKG, cuaca panas dan terik di beberapa wilayah masih dapat berlangsung selama Oktober 2023. Namun, suhu udara diprediksi akan menurun pada November 2023 seiring masa peralihan musim.  “Penurunan suhu diprediksi mulai terjadi pada November seiring dengan mulainya masa peralihan atau pancaroba di beberapa wilayah,” tulis BMKG.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengumumkan, suhu permukaan bumi semakin panas maka untuk mengatasinya transisi penggunaan sumber energi berbahan bakar fosil ke sumber energi hijau di dalam negeri harus segera dilakukan secara menyeluruh.

Menurut Dwikorita, sejak 2000 sampai 2023 telah terjadi kenaikan rata-rata 0,3 derajat Celcius yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (CO2) dari bahan bakar energi fosil seperti batubara dan sejenisnya.

“Krisis ini nyata bila tidak ada perubahan dalam sepuluh tahun ke depan atau kurang dari itu, suhu permukaan diprediksi bisa lebih panas lagi dengan peningkatan rata-rata mencapai 3,5 derajat Celcius,” kata Dwikorita dikutip dari Antara pada Selasa (17/10/2023).

Pernyataan tersebut disampaikan kepala BMKG dalam diskusi daring Forum Merdeka 9 Kementerian Komunikasi dan Informatika yang bertajuk “Kolaborasi Global Antisipasi Krisis Air Dampak Perubahan Iklim”.

Penyebab lain dari suhu panas ekstrem saat ini juga lantaran konsentrasi C02 di atmosfer. BMKG menemukan adanya kenaikan luar biasa konsentrasi CO2 di atmosfer sebagai penyebab kenaikan suhu bumi.

Tren peningkatan konsentrasi CO2 ditemukan dari pengukuran pada bulan Mei 2020 – 2022 di kawasan hutan Bukit Kototabang, Palu, dan Sorong yang secara umum mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Dalam dua tahun laju peningkatan rata-rata paling tinggi terjadi di Bukit Kototabang dengan nilai 3,12 ppm per tahun sedangkan laju peningkatan rata-rata di Palu dan Sorong berturut-turut sebesar 2,2 ppm per tahun dan 1,8 ppm per tahun.

Diketahui, setiap tahun konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat 3,12 bagian per juta. Satu ppm (part per million) adalah satu bagian dari sesuatu yang terkandung dalam satu juta bagian lainnya. Jadi, berarti ada 3,12 bagian CO2 dalam satu juta bagian atmosfer.

Terlepas dari aktifnya badai El-Nino sebagai penyebab kemarau, dia menyebutkan, dengan terjadinya peningkatan suhu panas tersebut sudah semakin memperparah kekeringan ekstrem yang sedang melanda Indonesia saat ini.

Dari kekeringan ini di antaranya telah menyebabkan kesulitan air bersih dan penurunan produktivitas pertanian di berbagai wilayah, termasuk di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.  “Faktanya ancaman kekeringan di Indonesia yang diprakirakan berlangsung hingga Januari-Maret 2024 ini baru sebagian pendahuluan. Jika kenaikan suhu global tidak dikendalikan, maka ancaman kekeringan akan semakin parah di masa depan,” kata dia.

Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), jika kenaikan suhu global mencapai 3,5 derajat Celsius, maka akan terjadi krisis pangan global. Hal ini akan berdampak pada 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen pangan dunia tak terkecuali Indonesia.

Ia menyatakan, untuk mengurangi risiko kekeringan dan krisis pangan, maka perlu ada perubahan gaya hidup dengan mulai beralih secara keseluruhan menggunakan energi hijau yang ramah lingkungan tak memproduksi CO2.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya