SOLOPOS.COM - Ilustrasi meminta maaf saat Lebaran. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO — Khutbah Jumat edisi 8 Maret 2024 kali ini untuk menyambut bulan Suci Ramadan 2024 yang sebentar lagi tiba.

Khutbah Jumat merupakan salah satu rukun yang harus dilakukan umat muslim saat salat Jumat. Selain khutbah, rukun salat Jumat lainnya ada membaca hamdalah, selawat kepada Nabi Muhammad SAW, membaca petikan ayat suci Al-Qur’an, berwasiat dan memohon ampunan untuk kaum muslimin. Menjelang Ramadan yang beberapa hari lagi tiba, biasanya diisi dengan beragam cara. Mulai dari tradisi sadranan, ziarah kubur, hingga bersuci.

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

Pemerintah sendiri belum memutuskan kapan 1 Ramadan 1445 H/2024, Nahdlatul Ulama (NU) memprediksi awal puasa Ramadan jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024. Ketua LF PBNU, Kiai Sirril menyatakan, melalui pengalaman, hilal tidak mungkin dapat dirukyat pada 29 Syakban 1445 H atau bertepatan dengan Minggu, 10 Maret 2024.

Sementara itu, Muhammadiyah memutuskan 1 Ramadan 1445 H pada Senin, 11 Maret 2024. Kementerian Agama (Kemenag) sendiri baru akan menggelar sidang isbat penentuan 1 Ramadan 1445 H pada Minggu (10/3/2024).

Nah, untuk menyambut bulan suci Ramadan 2024 yang sebentar lagi tiba, berikut ini contoh khutbah Jumat edisi 8 Maret 2024 yang Solopos.com kutip dari laman resmi NU online.

Khutbah Jumat Menyambut Ramadan 2024

Hadirin jamaah salat Jumat yang dimuliakan Allah,

Dalam hitungan hari bulan suci Ramadan akan hadir di tengah-tengah kita. Bulan yang penuh berkah ini disambut dengan penuh antusias dan kegembiraan oleh seluruh umat Islam di dunia. Hal ini disebabkan keistimewaan yang ada di dalamnya sehingga umat berbondong-bondong menyambutnya. Janji-janji Allah seperti ganjaran pahala, ampunan, dan rahmat-Nya melimpah di bulan ini.

Penyambutan ini juga bisa kita lihat di negeri kita, Indonesia. Dalam beberapa hari terakhir kita melihat di banyak media seputar adat dan tradisi sebagian masyarakat dalam menyambut bulan yang penuh berkah ini. Di Jawa, misalnya, ada tradisi melakukan ziarah kubur ke keluarga atau sanak saudara yang sudah meninggal.

Tradisi ini dilakukan demi mempererat antar generasi sehingga generasi yang masih hidup tidak lupa dan senantiasa mendoakan keluarganya yang sudah wafat. Selain itu, sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa ziarah kubur bertujuan untuk mengingatkan kematian kepada yang masih hidup. Betapa banyak di sekitar kita yang tahun lalu masih bisa puasa dan tarawih bareng namun pada Ramadan kali ini sudah tidak bersama lagi.

Tradisi ziarah kubur menjelang Ramadan ini sebenarnya tidak hanya dilakukan masyarakat Jawa, tapi di kalangan lain seperti Sunda dan Sumatera juga ada. Keberagaman inilah yang membuat istilah ziarah kubur memiliki nama yang variatif. Ada istilah nyekar, arwahan, ruwahan, dan munggahan. Semua ini menunjukkan kemufakatan tradisi ini yang layak dilestarikan.

Sesuai namanya, nyekar bermakna menaburkan bunga di atas kuburan, arwahan dan ruwahan berasal dari kata arwah dan ruh yang bermaksud mendoakan arwah-arwah atau ruh-ruh yang sudah meninggal, sedangkan munggahan dalam bahasa Sunda bermakna naik dengan maksud agar menaikkan kualitas ibadah pada masa bulan suci Ramadan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Jamaah salat Jumat hafidzakumullah,

Nama-nama tradisi yang disebut tadi pada kenyataannya tidak sesaklek itu. Artinya, meskipun namanya sedikit banyak mengarah kepada ziarah kubur, namun pada praktiknya tidak hanya itu saja. Ada yang dilanjutkan dengan silaturrahmi ke tetangga sekitar, ada juga yang sembari berkumpul bersama keluarga besar dengan hidangan yang bermacam-macam.

Selain itu, bahkan ada juga yang dilengkapi dengan gotong-royong membersihkan jalanan-jalanan desa. Biasanya tradisi yang lengkap semacam ini disebut dengan nyadran. Kata nyadran berasal dari bahasa Sansekerta berupa ‘sraddha’ yang bermakna keyakinan. Dalam artian, orang-orang yang melakukan nyadran ini berkeyakinan akan adanya keberkahan dari aktivitas yang dilakukan.

Aktivitas seperti ziarah kubur, silaturrahmi, membersihkan desa, dan makan-makan bersama diyakini mempunyai nilai berkah dan pahala. Terlebih tradisi ini dilakukan dalam rangka menyambut bulan yang penuh berkah. Jadi, tradisi ini tidak dilakukan hanya berdasarkan keyakinan semata, melainkan ada nilai filosofi dan tujuan yang diharapkan di dalamnya.

Termasuk juga tradisi lain seperti padusan. Nama ini berasal dari bahasa Jawa ‘adus’ yang bermakna mandi. Maksudnya adalah dalam rangka menyambut bulan suci maka mandi di sumber mata air untuk membersihkan diri sebagai simbol bahwa tubuh dalam kondisi suci dan bersih dari dosa sehingga siap melakukan ibadah-ibadah selama bulan Ramadan.

Para hadirin yang dirahmati Allah,

Jika kita merenung atas berbagai fenomena di atas, mungkin kita akan bertanya-tanya: mengapa masyarakat sangat antusias melakukan tradisi tersebut? Lebih spesifik lagi: mengapa mereka gembira dengan kedatangan bulan Ramadan? Bukankah pada bulan itu dilarang makan dan minum yang justru memberatkan kita?

Inilah keunikan masyarakat kita. Atas keberkahan dakwah yang tidak bosan-bosannya disampaikan oleh para wali dan ulama kita, membuat umat Islam di Indonesia sumringah dalam menghadapi perintah untuk tidak makan dan minum pada siang hari bulan Ramadan. Tentu saja pada dasarnya, perintah ini dirasa berat sebab berlawanan dengan kebutuhan manusia, namun atas keberkahan para ulama tadi menjadikan rasa berat tersebut menjadi sirna.

Bahkan, sebagaimana terlihat dalam pekan ini, antusias masyarakat kita begitu membara dalam menyambut bulan Ramadan. Dengan kata lain, mereka bersyukur dapat berjumpa dengan bulan Ramadan dan siap mengerjakan ketentuan yang sudah ditetapkan syariat selama di bulan ini. Bersyukur semacam ini pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam sebuah hadits riwayat Imam Tirmidzi yang menceritakan ketika Siti Aisyah mengomentari saalat malam yang dilakukan Nabi dengan cukup lama sehingga membuat kaki beliau bengkak.

Syekh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi mengatakan justru itu sebagai bentuk syukur Nabi Muhammad atas segala ampunan dan berbagai macam anugerah yang diberikan kepada beliau. Cara syukur bagi Nabi Muhammad tidak cukup hanya sekedar mengucapkan hamdalah, melainkan dengan berlama-lama melaksanakan ibadah, khususnya salat selaku ibadah paling romantis dengan Dzat yang disembah.

Nikmat dan anugerah yang sangat besar yang diterima Nabi Muhammad membuat beliau merasa kurang adil bila cara bersyukurnya hanya dengan mengucapkan hamdalah saja. Meskipun kalimat itu dibaca berulang kali tetap saja nilainya akan berbeda jika dibandingkan dengan cara bersyukur Nabi tadi, yaitu memperlama salat Tahajjud hingga kakinya bengkak.

Hadirin shalat Jumat hafidzakumullah,

Sudah sepatutnya kita meningkatkan cara bersyukur kita atas anugerah iman, islam, kesehatan, kelapangan, kesejahteraan dan berbagai macam lainnya yang membuat kita dapat beribadah dengan tenang dan khusyuk, termasuk ibadah-ibadah khusus pada bulan Ramadan yang akan kita lakukan nanti.



Cara bersyukur di sini sebagaimana yang sudah terlihat dalam ragam tradisi-tradisi masyarakat kita. Kegembiraan dan kesenangan mereka saat hendak bertemu dengan bulan Ramadan diekspresikan dengan tradisi-tradisi tadi sebagai bentuk syukur atas anugerah tersebut. Semoga kegembiraan yang tergambar pada banyak tradisi itu menjadi bukti kerelaan dan keikhlasan kita dalam melaksanakan ibadah pada bulan Ramadan nanti.

Demikian khutbah Jumat edisi 8 Maret 2024 untuk menyambut bulan suci Ramadan 2024.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya